Jumat, 31 Oktober 2014

SAMIN JEPANG (BAG 1)

ANTROPODIA-Samin merupakan sebuah komunitas yang sering diperbincangkan karena keunikan dari cara hidupnya. Hingga saat ini pandangan orang jika mendengar kata samin akan mengarah pada sesuatu yang negatif. label yang melekat pada komunitas ini adalah komunitas yang primitif, udik, terasing dan bahkan ada yang menyebut sebagai wong gendeng (orang gila) karena memiliki hidup yang "nyeleneh" karena dianggap tidak biasa bagi sebagian banyak orang.    Berbicara mengenai Samin, tidak sedikit orang yang menyebut Samin adalah sebuah suku atau etnis. Padahal Samin merupakan suatu bentuk sub-culture dari suku Jawa. Berdasarkan definisi Ensiklopedia Indonesia, yang dimaksud suku bangsa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya, dimana anggotanya memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-isitiadat dan tradisi. Sedangkan pengertian komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana didalamnya terjadi hubungan pribadi yang erat antar anggota komunitas tersebut. Dalam sebuah komunitas kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosial merupakan kekuatan pengikat yang utama dan didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Merujuk dari kedua definisi tersebut bisa dikatakan bahwa masyarakat Samin lebih tepat digolongkan atau disebut komunitas daripada suku.
Keberadaan komunitas ini berawal pada zaman kolonial. Komunitas Samin merupakan komunitas yang terlahir dari kaum-kaum yang menolak pemerintahan Belanda. Penganut Samin pada saat itu dianggap pembangkang oleh Belanda karena tidak mau membayar pajak, menolak segala bentuk program pembangunan yang diberikan oleh Pemerintah dan tidak mau mengikuti aturan hukum yang berlaku. Komunitas Samin memiliki nilai, norma serta prinsip yang berbeda dari masyarakat kebanyakan, yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupannya seperti dalam pengelolaan lingkungan, mata pencaharian, pendidikan, pernikahan dan aspek lainnya. Tempat tinggal mereka pun cenderung berkumpul dan terasing dari komunitas masyarakat lainnya yang tersebar di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Sosialisasi nilai dan norma komunitas ini terus dilakukan secara kontinu, sehingga ajaran dan tradisinya masih melekat sampai tahun 2014 ini.
Pada mulanya Samin sendiri merupakan nama salah seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, sebelah utara Randublatung Kabupaten Blora. Samin Surosentiko masih mempunyai hubungan darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih memiliki hubungan kerabat dengan Pengeran Kusumoningayu atau kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu yang merupakan adipati Brotodiningrat yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto, kini menjadi Kabupaten Tulungagung, pada tahun 1802-1826. 
Ayah Samin Surosentiko bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar yang kemudian dirubah menjadi Samin, dimana nama tersebut dipilih karena dianggap memiliki nafas kerakyatan. Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora pada tahun 1890. Ketika itu ajaran Samin oleh Samin Surosentiko mendapatkan apresiasi yang bagus dari masayarakat, sehingga dalam waktu singkat banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.

Laporan dari Residen Rembang pada tahun 1903 menyatakan sejumlah 722 pengikut Samin yang tersebar di 34 sesa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Penyebaran ajaran Samin tersebut terus dilakukan dengan giat, sehingga pada tahun 1907 pengikut ajaran Samin berjumlah lebih dari 3.000 orang (Titi,dkk.,2004:23). Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian menyusul Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, dan beliau meninggal dengan status sebagaai tahanan pada tahun 1914 .
Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sinilah orang-orang desa dipengaruhi untuk tidak membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial. Penyebaran ajaran Samin terus gencar dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Surohidin, seorang menantu Samin Surosentiko dan juga Engkrak salah satu pengikutnya yang menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan pada tahun 1911, selain itu juga ada Karsiyah yang menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Perlawanan Komunitas Samin kepada Pemerintah Kolonial Belanda terus dilakukan di beberapa daerah karena menaikkan pajak, seperti di Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah yang tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat agar tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Begitu juga di Desa Tapelan, Bojonegoro perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda tak terelakkan, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Pada akhirnya tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.
Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya jaman, tentunya juga berdampak pada perubahan sosial masyarakat khususnya pada komunitas Samin ini.  Walaupun Samin yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu, artinya Komunitas ini sekarang semakin modern seperti masyarakat pada umumnya. Akan tetapi ada beberapa hal yang masih dilekatkan pada komunitas ini. Sebagai contoh ada hal yang dulunya dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Misalnya kebiasaan membangkang, tak mau bayar pajak, atau enggan ikut ronda. Padahal, menurut Mbah Harjo Kardi yang merupakan sesepuh komunitas Samin di Dusun Jepang, pengabaian pembayaran pajak waktu itu merupakan cara yang digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Adanya perbedaan penafsiran tersebut hingga saat ini masih sering terdengar dan perilaku yang dianggap tidak sejalan dengan orang lain oleh orang yang notabene non-Samin yang menunjukkan perilaku buruk, orang biasa menyebut dengan istilah "nyamin" atau berperilaku seperti orang Samin. Hal tersebut terkadang ada yang membuat sebagian orang Samin asli enggan menyebut dirinya Samin, mereka menyebutnya Wong Sikep, yaitu orang yang memegang teguh ajaran yang diturunkan secara turun-temurun. Beberapa ajaran yang hingga saat ini masih diugemi atau dilestarikan adalah Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, bedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, bertengkar, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Selain itu ada yang berbunyi Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu. Arti kalimat tersebut adalah, kita harus menjaga mulut dari kata yang tidak baik atau yang membuat orang sakit hati. Berikutnya berbunyi Sabar lan trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni. Maksudnya adalah orang Samin harus ingat pada kesabaran, "bagaikan orang mati dalam hidup". Selanjutnya ada yang berbunyi Wong urip kudu ngerti uripe, sebab urip siji digowo selawase, maksudnya manusia hidup itu harus memahami kehidupannya, karena hidup itu sama dengan roh yang hanya satu dan dibawa abadi selamanya. 
Ajaran tersebut tetap dijalankan oleh komunitas Samin terlebih dalam mendidik anak-anaknya, yang selalu menekankan untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Selain itu terdapat beberapa ajaran lain seperti kesederhanaan, kejujuran dan kerja keras dengan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin hingga saat ini. Walaupun jika hal ini dirunut ke belakang, akan menemui kesulitan bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu bisa berubah menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini.
Zaman telah berubah, kolonialisme sudah berakhir tetapi nilai luhur masih dipertahankan dan dilestarikan oleh sebagian Wong Sikep atau Samin. Komunitas Samin menganggap tabiat merupakan hal yang sangat penting. Siapapun orangnya, baik itu seorang ulama, priyayi atau orang beragama apabila memiliki tabiat yang tidak baik maka tidak baik atau buruk juga pekertinya. Orang Samin meyakini apa yang disebut dengan hukum karma atau hukum alam, yang mana hukum tersebut diyakini tidak akan memberikan pembuktian yang sebaliknnya. 
“Nandur pari, thukul pari, ngunduh pari”
“Becik ketitik ala ketara”
(“Menanam padi, tumbuhnya juga padi”
“yang baik akan terlihat, yang burukpun akan tampak”.)



KEUNIKAN PAKAIAN ADAT MADURA (Bagian I)
MENGENAL LEBIH DALAM PAKAIAN TRADISIONAL
ETNIS MADURA
Pakaian Sehari-hari Para Bangsawan Di Kabupaten Bangkalan
Pakaian Wanita Remaja
Nama pakaian ini adalah kebaya tanpa kutu baru dengan lengan ¾ komprang untuk bagian atas, sedangkan untuk bagian bawah yaitu samper kembang. Unsur perlengkapan pakaian meliputi bagian kepala seperti rambut digelung model Bokor Nongkep (model ini bentuknya seperti tekuk Jawa namun agak berbentuk oval atau lonjong tanpa diberi hiasan bunga apapun), wajahnya memakai bedak dari bahan beras dan tanpa polesan lipstik maupun celak, harnal (yang dipakai sehari-hari bentuknya sederhana namun bahannya terbuat dari emas), hiasan telinga (biasanya memakai senthar phentol atau senthar kecil). Selain itu adapun bagian atasnya yaitu kebaya, peniti, tidak memakai kalung dan cincin. Yang terakhir yaitu bagian bawahnya ada samper kembang (bentuknya seperti kain panjang hanya di dalam pemakainnya tidak memakai wiru), setagen (lebarnya 20 cm dan umumnya bentuknya seperti setagen orang jawa), sapu tangan (sap-osap), dan sandal ceplek (terbuat dari kulit sapi bermotif polos).
Cara memakai pakaiannya mula-mula mengenakan sampar kembang lalu memakai setagen sebagai penguat kain. Setelah itu baru mengenakan kebaya. Sapu tangan dilipat menjadi bentuk segitiga dan diselipkan di setagen sebelah kiri, ditampakkan dibawah kebaya.  Menurut warna dan bentuknya, fungsi dari pakaian ini mempunyai maksud tertentu yaitu untuk membedakan strata sosial. Jika bentuk kebaya remaja putri desa cenderung ketat dan pendek. Untuk remaja bangsawan justru sebaliknya. Panjang kebaya remaja putri ini sampai menutupi bagian pantatnya. Remaja putri bangsawan sedapat mungkin menutupi bagian vital dari tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Menurut ceritanya kewibawaan, kharisama dan kebaikan seseorang tidak dapat dimulai dari lahiriah saja tetapi dimulai dari tutur kata, sikap dan tindak tanduk yang dilakukannya. Sopan santun dan tata krama yang diterapkan oleh orangtuanya yakni para bangsawan sampai sekarang ini masih dilakukan oleh keturunannya. Sedangkan arti simbolisnya yaitu sanggul yang dipakai oleh remaja putri bangsawan tidak memakai rangkaian bunga. Menurut ceritanya kalau bunga tersebut dipakai sehari-hari, maka suatu saat jika ia disunting dan menikah, maka keharuman yang diberikan sudah tidak mengherankan lagi karena sudah dipakai setiap hari. Bunga ini hanya boleh dipakai apabila ada acara tertentu, misalnya resepsi atau bila menjadi pengantin. Warna baju yang dipakai oleh remaja putri cenderung berwarna-warni, ini menunjukkan sesuatu yang ceria dan gembira dan mempunyai masa depan yang cerah. Bentuk baju berlengan ¾ dan longgar ini menunjukkan untuk memudahkan jika bekerja atau menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, mereka tidak mau merepotkan gerakan tangannya hanya karena pakaian yang dipakainya. Pekerjaan rumah tangga dikerjakan dengan halus dan teratur. Perhiasan yang dipakai cenderung sederhana dan tidak menyolok, karena melalui perhiasan yang ditonjolkan inilah yang membedakan strata sosial antara rakyat biasa dan bangsawan.
Pakaian Pria Remaja
Nama pakaian ini adalah Rasughan totop untuk bagian atas sedangkan untuk bagian bawahnya disebut samper kembeng. Unsur perlengkapan pakaian ini terdiri dari bagian kepala yang meliputi odheng paredan (bahannya kain batik tulis dengan warna hitam dan coklat, sedangkan motifnya bunga dan lidah api). Untuk bagian atasnya terdiri dari rangkaian totep atau jas totop (baju ini mempunyai hiasan kancing yang berjumlah 5 sampai 7 buah, modelnya polos dan berawarna cerah, bahannya kain tebal sejenis woll), rompi atau kotang dalam (bahannya kain satin dan warna nyang dipakai adalah hitam, coklat dan polos). Yang terakhir adalah bagian bawah celana ¾ (motifnya polos dengan warna abu-abu atau hitam sedangkan ukuran panjang celana 5 cm di bawah lutut), samper kembeng (kain panjang), sapu tangan (sap-osap), setagen, sabuk katemang raja (bentuknya seperti ikat pinggang biasa tetapi agak besar, bahannya kulit sapi dan berwarna hitam atau coklat), serta alas kaki (terompah).
Cara memakai pakaian ini mula-mula mengenakan celana ¾. Lalu dimasukkan ke masing-masing pipa celana, kemudian bagian atas celana dipererat dengan tali kolor. Setelah itu memakai samper kembeng yang diwiron selebar 5 jari, agar kalau berjalan bisa nampak gagah dan mempercepat langkah. Kain pajang dieratkan dengan setagen dan memakai sabuk katemang raja. Jika perlengkapan bagian bawah sudah dikenakan semua barulah rompi dipakai sebagai baju dalam. Setelah itu mengenakan rasughan totop. Kemudian memakai odheng peredan. Terakhir sapu tangan yang telah dibentuk segitiga memanjang diselipkan di sebelah kiri sabuk katemang raja, menyuntai di bagian paha.
Fungsi rasughan totop bagi remaja pria tempo dulu dipakai untuk ke sekolah maupun untuk sehari-hari di rumah. Sapu tangan berguna untuk mengusap tangan agar pakaian yang dikenakan tidak kotor. Sedangkan wiron besar pada kain panjang selain berfungsi estetis juga praktis yaitu memudahkan dalam melangkah. Arti simbolisnya adalah hiasan kancing sebanyak 5 atau 7 buah mempunyai arti bahwa pada dasarnya manusia mempunyai lapisan raga yang terdiri dari rambut, kulit, daging, darah, dan tulang sumsum. Motif bunga sirih pada samper yang dipakai berkaitan dengan kepribadian dan rasa ketuhanan. Warna baju yang dipakai mempunyai arti kesucian.
Pakaian Wanita Dewasa
Nama pakaian ini adalah Kebaya tanpa kutu baru, sedangkan untuk bagian bawah disebut dengan sarung batik tulis Madura. Unsur perlengkapan pakaian ini terdiri dari bagian kepala yaitu rambut digulung bokor nongkep, harnal, anting, (Antheng senthar penthol), dan memakai kalung. Sedangkan bagian atasnya ada kebaya, perhiasan kebaya (peniti rantai), ikat pinggang (setagen atau sabbu’epek), hiasan jari (cincin), hiasan tangan (gelang). Untuk bagian bawahnya mengenakan sarung batik khas Madura dan alas kaki (sandal ceplek).
Cara memakai pakaian ini mula-mula mengenakan kain batik atau sarung batik tanpa memakai wiron. Sebagai penguat kain, memakai sabuk epek atau pending. Setelah itu baru memakai kebaya. Fungsi pakaian ini untuk pakaian sehari-hari di rumah. Arti simbolisnya yaitu pemakaian bunga di rambut mempunyai arti bahwa bau bunga ini dapat dianggap memberikan suatu ketenangan dan ketentraman. Aroma yang disebarkan memberi suatu sugesti bagi si pemakai maupun yang melihat sehingga memberikan kesejukan di hati. Arti motif sayap burung pada kainnya. Motif burung di sini diambil dari burung Garuda. Dimana Garuda berasal dari kata gaibnya dada, berarti kembalinya kita pada tatanan rasa: misalnya rasa pengayoman perlindungan bagi rakyatnya. Yang terakhir adalah perhiasan emas yang dipakai cenderung tidak menolok dan kecil. Ini untuk membedakan strata sosial antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.

Pakaian Pria Dewasa
Nama pakaian ini yaitu Rasughan totop untuk bagian atasnya dan untuk bagian bawahnya disebut Samper kembeng. Unsur perlengkapan pakaian terdiri dari bagian kepala yang meliputi Odheng peredan (bahannya kain batik tulis berwarna coklat atau hitam dengan motif bunga dan lidah api). Untuk bagian atasnya terdiri dari jas totop dan rompi. Yang terakhir adalah bagian bawah mengenakan celana ¾ samper kembeng (kain panjang), sapu tangan, setagen, sabuk katemang raja, pusaka (keris) dan dhungket (tongkat), anthok (cerutu), perhiasan tangan (geteng akar atau gelang akar), perhiasan jari (selok atau cincin), perhiasan dada (arloji rantai), dan alas kaki (trompah).
Cara memakai pakaian ini mula-mula mengenakan celana ¾ lalu kain panjang dililitkan ke pinggang seperti pada umumnya. Kemudian memakai setagen dan sabuk katemang raja. Jika sudah dipakai, barulah keris pusaka diselipkan di bagian belakang. Terakhir jas totop dipakai di badan lengkap dengan perhiasannya. Tidak lupa sapu tangan dipakai di sebelah kiri luar badan dan diselipkan di sabuk katemang raja.
Fungsi dari Rasughan totop ini berfungsi secara praktis, pantes dan ringkes. Fungsi lainnya adalah menunjukkan adanya suatu kebudayaan dan tradisi setempat. Pakaian ini dipakai apabila menerima tamu atau bekerja. Fungsi dari sabuk katemang raja yaitu untuk menyelipkan keris pusaka dan sapu tangan. Fungsi dari wiron besar yaitu untuk memberi kemudahan dalam melangkahkan kaki, kewibawaan, kegagahan. Serta fungsi dari tongkat dan once yaitu sebagai keindahan dan juga senjata. Arti simbolis dari unsur pakaian ini yaitu hiasan kancing sebanyak 5 atau 7 buah mempunyai arti bahwa pada dasarnya manusia mempunyai lapisan raga yang terdiri dari rambut, kulit, daging, darah, dan tulang sumsum. Motif bunga sirih pada samper yang dipakai berkaitan dengan kepribadian dan rasa ketuhanan. Warna baju yang dipakai mempunyai arti kesucian.

Pakaian Resmi Para Bangsawan Di Kabupaten Bangkalan
Pakaian Wanita Remaja
Nama pakaian ini yaitu kebaya bengkal pada bagian atasnya sedangkan untuk bagian bawah disebut kain songket. Unsur perlengkapan pakaian ini terdiri dari bagian kepala yang meliputi rambut memakai sanggul bokor nongkep, hiasan telinga (giwang kerabu, bahannyadari berlian dan warnanya kekuning-kuningan), hiasan leher (kembang kates). Bagian atasnya terdiri dari kebaya bengkal (bahannya beludru bersulam benang emas dan berwarna merah kendola serta bermotif polos), kotang hiasan kebaya (peniti ronyok yang berarti goyang-goyang), saputangan dan hiasan jari (selok). Bagian bawahnya ada kain, songket, ikat pinggang (pending), dan alas kaki (selop).
Cara memakai pakaian ini mula-mula mengenakan kain panjang atau songket tanpa memakai wiru. Setelah kain diikat dengan seutas tali lalu dikencangkan dengan pending. Kemudian memakai kotang dan kebaya, Saputangan diletakkan dibawah pending ditampakkan di bawah kebaya. Terakhir mengenakan selop.
Fungsi pakaian yang dipakai oleh putri bangsawan ini untuk menghadiri acara-acara yang bersifat resmi. Bahkan pada zaman dahulu pakaian kepotren ini dipakai untuk menghadiri acara formal, misalnya menyambut tamu agung. Arti simbolis secara keseluruhan kebaya bengkel ini mempunyai arti luas. Diharapkan si pemakai dapat mempunyai pikiran yang luas dan terang. Warna baju yang dipakai oleh remaja putri berwarna-warni, ini menunjukkan suatu jiwa yang ceria gembira dan mempunyai masa depan yang cerah.

Pakaian Wanita Dewasa
Nama pakaian ini adalah Kebaya panjang pada bagian atasnya sedangkan untuk bagian bawah disebut kain songket. Unsur perlengkapan pakaian ini terdiri dari bagian kepala meliputi rambut memakai gelung malang (bentuknya seperti angka 8 yang melintang dan melambangkan tulisan Allah dan di dalam gelungnya diberi daun pandan yang dipotong kecil-kecil, biasanya gelung ini dipakai oleh ibu muda) dan gelung mager sereh (bentuknya hampir sama dengan model gelung malang, tetapi diisi dengan kembang tanjung, biasanya gelung model ini dipakai oleh wanita lanjut usia yang berpangkat pejabat), hiasan rambut (cucuk, karang melok, duwek remek), hiasan telinga (giwang kerabu), serta hiasan leher (kembang rantai berliontin markis). Pada bagian atasnya terdapat kebaya panjang, hiasan kebaya (peneti cecek, bentuknya seperti paku yang melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas), hiasan tangan (gelang), dan hiasan jari (cincin). Terakhir bagian bawah terdiri dari kain batik tulis Madura atau Jawa, setagen dan alas kaki (selop tutup).
Cara memakai pakaian ini mula-mula mengenakan kain. Bila mengenakan kain motif Madura dikenakan tanpa wiron dan seret jatuh di kanan. Sedangkan kain motif Jawa dikenakan dengan wiron khas Madura dan seretnya di zig-zag. Setelah itu mengenakan epek sebagai penguat kain. Kemudian mengenakan kebaya dan terakhir memakai selop. Fungsi pakaian ini untuk menghadiri upacara resmi termasuk upacara pernikahan. Arti simbolisnya yaitu pemakaian bunga dirambut mempunyai arti bahwa bau bunga ini dianggap memberikan suatu ketenangan dan ketentraman. Aroma yang disebarkan memberikan sugesti bagi si pemakai maupun yang melihat sehingga memberikan kesejukan di hati. Arti motif sayap burung pada kainnya, motif burung disini diambil dari burung Garuda. Dimana Garuda berasal dari kata gaibnya dada, berarti kembalinya kita pada tatanan rasa: misalnya rasa pengayoman, perlindungan bagi rakyatnya.

Pakaian Pria Dewasa
Nama pakaian ini adalah Jas totop pada bagian atasnya sedangkan bagian bawahnya disebut Kain batik tulis. Unsur perlengkapan pakaian ini terdiri dari bagian kepala meliputi odheng tongkosan kota. Bagian atasnya jas totop dan hiasan baju (jam saku yang diberi rantai dari emas). Sedangkan bagian bawah → kain batik tulis, hiasan kain (wiron), ikat pinggang (odet dan epek), senjata (keris), dan alas kaki (selop tutup).
Cara memakai pakaian ini mula-mula kain diwiron agak lebar sebanyak 7  buah. Setelah itu kain dililitkan ke pinggang. Sebagai penguat kain memakai odhet di pinggang. Setelah itu mengenakan epek di atas odhet. Kemudian keris diselipkan dipinggang sebelah kanan bagian muka dan ditutup dengan jas totop, sehingga keris tidak tampak dari luar. Jam saku digantungkan dari saku bagian atas dan rantainya di cantelkan ke kancing dekat saku. Baru setelah itu memakai ikat kepala tongkosan kota.
Fungsi pakaian ini untuk menghadiri pertemuan resmi dan upacara-upacara penting, misalnya upacara perkawinan. Fungsi odheng biasanya dipakai oleh kaum bangsawan dan para pejabat tinggi pada pertemuan resmi dan upacara-upacara penting, misalnya perkawinan. Jika yang memakai derajad kebangsawanannya tinggi, maka kelopak tongkosan tegak. Jika derajad kebangsawanannya rendah, maka kelopaknya makin miring. Selain itu bila si pemakai sudah sepuh, maka sayap atau ujung kain dipilih dan jiak si pemakai masih muda, sayap tetap terbeber.
Arti simbolis bagi orang Madura tidak diperkenankan untuk memberi perhiasan pada tongkosan yang menandakan bahwa tongkosan lebih tinggi nilainya daripada permata. Hal ini mempunyai arti simbolis bahwa seorang pemimpin tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat keduniawian atau mengejar kebendaan. Dengan demikian para pemimpin harus sanggup melaksanakan tugas sesuai dengan yang telah dititahkan kepadanya. Ukuran tongkosan lebih kecil daripada ukuran kepala. Dengan demikian cara memakainya tidak masuk ke kepala, tetapi agak bertengger di atas kepala dalamn posisi sedikit menyingkat ke depan, sehingga kepala si pemakainya sedikit terangkat atau mendongkrak ke atas. Cara memakai tersebut mempunyai arti simbolis “je tako’  ka lako asal lakona lakona kennengnga-kennengnge” yang berarti betapapun berat tugas yang dipikul hendaknya diterima dengan lapang dada.

Pakaian Umum Pada Masyarakat Madura
Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan kaos bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an dan celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat pada umumnya, baik sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pengaruh cara berpakaian pelaut dari Eropa, terutama kaos bergaris yang digunakan.
Dalam penggunaannya, baju pesa`an, celana gomboran dan kaos oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari cara memakainya. Kalangan pedagang kecil, seringkali mempergunakan baju pesa`an dan kaos oblong warna putih, dipadu dengan sarung motif kotak-kotak biasa. Sebaliknya para nelayan, umumnya hanya menggunkan celana gomboran dengan kaos oblong.
Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang. Pada masa sekarang, baju pesa`an warna hitamlah yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan keberanian. Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya yang dimiliki masyarakat Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau hitam yang terdapat pada kaos yang digunakan pun memperhatikan sikap tegas serta semangat juang yang sangat kuat, dalam menghadapi segala hal.
Bentuk baju yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan kesederhanaan masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat kotak-kotak dengan warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar dengan kantong penghimpun uang di depannya adalah perlengkapan lainnya. Terompah atau tropa merupakan alas kaki yang umumnya dipakai.
Pilihan warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka dan terus terang. Oleh karena itu mereka tidak mengenal warna-warna lembut. Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.