Senin, 05 Desember 2011

TRADISI TOK-OTOK MADURA PERANTAUAN

  Madura di Perantauan dan Tradisi Arisan Otok-Otok
Manusia merupakan makluk sosial yang berinteraksi dengan makluk lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat perlunya interaksi tersebut guna menjalin suatu hubungan yang harmonis dengan individu yang lainnya. Interaksi merupakan sutu hubungan timbal balik dan respons antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dan kelompok. Pada masyarakat saat ini, cara yang dilakukan untuk menjaga keharmonisan dalam berkomunikasi serta mempererat tali persaudaraan dengan anggota keluarga yang lain yaitu dengan mengadakan arisan keluarga. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih mengenal karakter keluarga yang lainnya serta dapat mempererat tali persaudaraan. Arisan merupakan suatu kegiatn berkumpul yang terdiri dari kelompok orang yang mengumpul uang secara teratur pada tiap-tiap periode tertentu. Setelah uang terkumpul, salah satu dari anggota kelompok akan keluar sebagai pemenang. Penentuan pemenang biasanya dilakukan dengan jalan pengundian, namun ada juga kelompok arisan yang menentukan pemenang dengan perjanjian. Arisan beroperasi di luar ekonomi formal sebagai sistem lain untuk menyimpan uang, namun kegiatan ini juga dimaksudkan untuk kegiatan pertemuan yang memiliki unsur “paksa” karena anggota diharuskan membayar dan datang setiap kali undian akan dilaksanakan.
Saat arisan berlangsung para anggota arisan bisa bertukar informasi, sharing tentang masalah dalam rumah tangga, berbagi pengalaman, dan banyak hal lainnya. Terkadang dalam suatu kegiatan ada kegiatan diluar pengertian arisan itu sendiri; misalnya ada demonstarsi tentang langkah awal mengatasai kebakaran akibat kompor gas yang sebelum ada tim pemadam kebakaran.
 Selain ada kelebihan terdapat pula kelemahan dari kegiatan arisan. Beberapa individu menjadikan arisan sebagai ajang ‘pamer’ atas suatu kelebihann yang mereka miliki. Misalnya saat menghadiri arisan ibu-ibu memakai perhiasan yang berlebihan atau pakaian brandnew yang tekenal dan sebagainya yang malah membuat kecenderungan sosial ataupun malah menjadi bahan gosipan ibu-ibu lain. Selain dampak negative tersebut ada juga dampak negative seperti misalnya salah satu individu sudah mendapatkan giliran untuk menang namun untuk pertemuan berikutnya dia tidak membayar uang arisan lagi mungkin dengan alasan belum ada uang dan akan membayarnya langsung kepada pemenang baru ataupun lebih parah lagi salah satu individu yang sudah mendapatkan giliran menang langsung kabur, memnghilang entah kemana. Sarana pemasaran dan membuat jaringan. Kalau Anda perhatikan, dalam setiap pertemuan arisan, selalu saja ada yang membawa barang dagangan untuk dipasarkan disitu.
 Masyarakat etnis Madura yang menetap di Surabaya mempunyai cara sendiri untuk menjaga solidaritas kekerabatannya. Warga Madura di perantauan memiliki daya kebertahanan yang bisa diandalkan. Di samping keberadaan solidaritas di kalangan mereka sangat tinggi, mereka memiliki satu bentuk wahana yang mampu memberikan gerak dan interaksi secara terencana, yakni tradisi otok-otok. Kegiatan ini dilakukan secara turun temurun atau generasi ke generasi. Tradisi sendiri memiliki pengertian suatu kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dan merupkan bagian dari masyarakat tersebut. Otok-otok ini merupakan kegiatan serupa arisan yang terdiri dari sekumpulan orang-orang untuk berkumpul dan memiliki tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan pengolahan uang.

Tradisi otok-otok ini kegiatan yang merupakan ajang bergengsi dikalangan etnis Madura yang merantau. Adanya kegiatan ini untuk mempererat dan mempertahankan solidatitas kekerabatan etnis Madura yang berada di tanah rantauannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kerabat atau berkerabat adalah orang yang memiliki “hubungan darah” dengan orang lain (individu yang lain) baik dari keturunan ibu maupun ayahnya. Orang yang memiliki hubungan darah tersebut banyak jumlahnya, maka besar kemungkinan di antara mereka tidak saling mengenal. Mereka hanya mengenal beberapa saja diantara mereka dan mengetahui seluk beluk ikatan kekerabatannya dengan mereka, karena dari seluruh kerabat “biologis” nya hanya sebagian kecil saja yang merupakan kerabat “sosiologisnya” nya. Bagi seorang individu, kaum kerabat ‘sosiologi” nya itu dibedakan berdasarkan adanya hubungan kekerabatan, kesadaran akan hubungan kekerabatannya, pergaulan berdasarkan hubungan kekerabatan.

Hubungan kekerabatan tersebut ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan yang bersifat selektif, mengikat sejumlah kerabat yang bersama-sama memiliki sejumlah hak dan kewajiban tertentu, misalnya hak waris atas harta, gelar, pustaka, dan lain-lain. Serta juga hak atas kedudukan, kewajiban untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama seta kewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif bersama-sama. Hal ini pula yang dilakukan warga etnis Madura yang merupakan warga rantau di Surabaya dengan kegiatan yang mereka lakukan, yaitu otok-otok. Dengan adanya kegiatan otok-otok yang menjadi tradisi ini semakin mempererat solidaritas etnis Madura di Surabaya.

Kegiatan otok-otok yang dilakukan warga etnis Madura ini adalah untuk mempererat tali silahturahmi serta menjaga keutuhan solidaritas mereka sebagai warga rantau di Surabaya. Kegiatan ini dilakukan pada malam hari hingga dini hari atau semalam suntuk. Dalam kegiatan ini ada beberapa acara salah satunya adalah menampilkan kesenian khas Madura, yang berupa tarian. Dalam tradisi Madura, otok-otok merupakan kegiatan yang besar. Maksud dari kata besar disini adalah otok-otok merupakn kegiatan yang serupa arisan dengan serangkaina acara yang didatangi atau yang dihadiri oleh seluruh etnis Madura di Surabaya. Acara otok-otok ini selalu diiringi dengan musik, baik berupa musik lokal maupun non lokal seperti lagu-lagu Bollywood. Warga yang menghadiri acara otok-otok ini merupakn warga asli Madura yang tinggal dan menetap di Surabaya sudah lama. Baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita hadir dalam acara ini. Namun, untuk para wanita, biasanya tidak mengikuti hingga acara selesai. Dalam kegiatan ini tempat antara wanita dan laki-laki terpisah. Kegiatan ini juga dibumbui dengan kegiatan minum minuman keras. Di atas meja yang disediakan terdapat beberapa botol minuman keras yang siap untuk dikonsumsi. Tidak jarang akibat kegiatan tersebut muncul suatu kerusuhan atau perselisihan. Namun pihak dari tuan rumah yang mengadakan kegiatan ini pun sudah menyimpkan tim pengaman dari pihak kepolosian untuk menjaga keamanan dalam berjalannya kegiatan tersebut.

Perselisihan dalam  Otok-otok
Dalam kegiatan yang sudah menjadi tradisi ini sudah tentu memiliki pengurus untuk kegiatan ini. Upaya warga etnis Madura untuk tetap bertahan di kota Surabaya ini baik untuk ditiru, dengan hidup di tanah orang mereka memiliki kegiatan untuk tetap bertahan dengan kebudayaan mereka sendiri. Hal ini juga dapat dilihat dari acara di dalamnya, mulai dari kegiatan di dalamnya hingga baju yang merekaa kenakan. Sebagian dari mereka, terutama yang tua laki-laki mengenakan pakaian adat Madura. Pakaian adat Madura, kaos bergaris-garis berwarna putih dan merah dengan di beri serupa rompi berwarna hitam dengan perpaduan celana kain hitam pula. Selain garis kaos putih dan merah yang menyimbolkan pakaina adat Madura, juga topi yang serupa belangkon jawa tanpa bendol di bagian belakangnya namun seperti kain yang menonjol dari bagian belakang.
dalam pelaksanaanya, sering sekali terjadi perselisihan. Ini akibat dari tradisi sekelompok dari mereka yang hadir untuk minum minuman keras. Minuman keras dapat membuat seseorang mabuk dan melakukan hal-hal yang diluar dari alam sadarnya. Bahkan banyak kasus carok yang terjadi dari kegiatan otok-otok ini. Disyangkan jika hal ini sering terjadi, karena tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk mempererat solidaritas kelompok yakni etnis Madura yang berada di tanah rantau, Surabaya ini. Karakteristik masyarakat Madura sebagai etnis yang terkenal solid dalam hubungan kekerabatannya serta loyal. Namun, tetap saja tidak terlepas dari perspektif yang negatif terhadap perilaku etnis Madura yang terkenal dengan keras dan temperamental. Berbagai hal yang negatif menjadi identitas etnis Madura namun hal ini tidak melunturkan karakteristik Madura yang pemberani dan menjadi salah satu etnis yang berkarakter dan memiliki kaya budaya yang perlu terus dilestarikan oleh generasi penerusnya.
Pelestarian budaya Madura ini dapat menjadikan etnis Madura tetap bersatu dalam globalisasi sekarang ini. Tradisi otok-otok ini misalnya, selain sebagai ajang untuk mempererat solidaritas kekerabatan entis madura yang tinggal di Surabaya juga sebagai warisan budaya yang peelu di lestarikan. Kegiatan ini merupakan simbol dari kekerabatan Madura yang memiliki solidaritas yang tinggi. Hubungan kekerabatan yang terjalin dengan baik untuk bertahan dan survive di tanah orang mampu untuk menjaga kebertahanan kelompok etnis tersebut.


Rabu, 30 November 2011

RITUAL JUMAT LEGI PUH SARANG



Malam Tirakatan Jum’at Legi di Gua Bunda Maria 



Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri, atau 5 km arah barat dari terminal baru kediri. Jika sudah sampai di perempatan alun- alun kota Kediri lalu selanjutnya menuju ke arah barat, jurusan terminal bus ”Tamanan”, atau jurusan ke kecamatan Semen. Sesampainya di terminal, sekitar 5 kilometer ke barat. Selain itu, dapat juga mengikuti petunjuk ke lokasi yang telah terpasang di setiap perempatan hingga ke lokasi.Untuk datang ke lokasi dapat di tempuh dengan menggunakan segala macam kendaraan.                                                                                  
Sejarah Gua Maria
Konon komplek wisata rohani ini sengaja dibangun menyerupai komplek gua Maria di Lourdes, Prancis. Pembangunan komplek Gua Maria Puhsarang memang dibuat berdasarkan foto-foto lokasi Gua Maria Lourdes yang asli dari Prancis, dengan tujuan agar kita di Indonesia tak perlu jauh-jauh ke Eropa untuk menikmati wisata rohani semacam ini. Cukup ke Kediri di Jawa Timur. Gua Maria Lourdes di Puh Sarang ini sekarang yang menjadi fokus atau titik perhatian utama dari para peziarah. Dulu sebelum ada gua Lourdes, titik perhatian utama adalah Gereja yang Antik. Namun untuk umat katolik, yang sering berziarah ke tempat ziarah untuk Bunda Maria. Gereja Katolik di Puh Sarang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri pada walctu itu, Pastor H. Wolters, CM. Insinyur tersebut juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit. Bangunan gereja Puh Sarang mirip dengan bangunan museum Trowulan, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala. Pastor Wolters, CM, minta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Puh Sarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.
Peletakan batu pertama gereja tersebut dilakukan pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh Mgr. Th. de Backere, CM, Prefektur Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa.
Gereja di Puh Sarang mirip dengan perahu yang menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat di mana dulu perahu nabi Nuh terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa (Kej 8:4), sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau melambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nuh dan keluarganya yang percaya pada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.

Pembangunan atau Penemuan Gereja Poh-sarang
            Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Pohon Kepuh, tampaknya merupakan asal nama ini. Posisinya berada di lereng timur Gunung Klotok, Kompleks Pegunungan Wilis, berupa kawasan berkontur, berudara dingin, dan batu menjadi kekayaan desa ini. Sungai Kadek yang melewati Puh Sarang dipenuhi batu, sehingga batu kemudian menjadi mata pencaharian kedua, selain sawah.. Gereja Puh Sarang menarik karena fisik bangunan gerejanya. Arsitekturnya sengaja dibikin setengah mirip dengan candi-candi Jawa Hindu di Jatim dan Jateng kuno. Keunikan itu tampaknya muncul disebabkan oleh pilihan metode dakwah pendirinya, Pastor Wolters CM, dibantu seorang antropolog arsitektur Ir Henricus Maclaine Pont.             Melalui gereja tersebut berusaha melakukan inkulturasi, proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap untuk memahamkan ajaran gereja komunitas lokalnya. Puh Sarang didirikan sebagai gereja inkulturasi dengan pendasaran pada filsafat Hindu-Jawa. Keuskupan Surabaya juga merestui pembangunan Gua Bunda Maria Lourdes yang megah lengkap dengan plaza tempat permenungan yang bisa menampung ribuan orang. Di situ pun dibangun replika jalan salib Golgota, pondok-pondok Rosario yang nantinya akan diresmikan pada Upacara besar Pembukaan Jubileum Agung tahun 2000 itu tadi. Tidak heran jika Puh Sarang kini berkembang menjadi daerah tujuan wisata baru. Tanah-tanah sekitar lokasi Puh Sarang kini harganya melonjak karena datangnya pembeli tanah dari Jakarta, yang merencakan hendak membangun penginapan-penginapan.
Tirakatan malam jum’at legi
Saat Jumat Legi, jalan desa dipenuhi kendaraan peziarah dari luar kota. Sekitar 3.000-an orang umat Katolik datang ke gereja Puh Sasarang, berziarah, berdoa di depan Gua Bunda Maria Lourdes. Puh sarang banyak dikunjungi umat Katolik terutama pada hari Kamis Kliwon malam jumat Legi (dalam kalender Jawa). Bahkan ada yang sudah berkumpul sejak Kamis Kliwon sore untuk menghindari kemacetan di sepanjang jalan menuju Gua Maria Lourdes. Hal ini dilakukan agar tepat pukul 24.00 WIB para peziarah dapat mengikuti Doa Rosario yang dilanjutkan dengan perarakan menuju ke Gua Maria Lourdes dan Misa Tirakatan berbahasa Indonesia diiringi musik tradisional. Misa Tirakatan Malam Jumat Legi ini selesai menjelang pagi, yaitu pukul 02.00 WIB. Dari semenjak 11 oktober 1999 diadakan suatu usaha baru untuk mengundang para peziarah dengan mengadakan misa pada malam Jumat Legi. Dalam praktek secara konkret misa ini diadakan pada Kamis Malam menjelang Jumat, sebab dalam perhitungan kalender Jawa hari Kamis Kliwon sejak matahari terbenam sudah masuk atau dianggap sebagai hari Jumat Legi.
Bagi mereka para penziarah yang kurang memahami kalender Jawa, dalam Kalender Jawa hari itu dibagi menjadi lima: Paing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Dan tigapuluh hari sekali akan jatuh pada hari yang sama, sehingga tiap 35 hari sekali akan ada hari Jumat Legi. Menurut keyakinan orang-orang yang masih menganut paham Kejawen di Jawa Timur ini malam Jumat Legi merupakan hari yang baik, hari yang baik dalam melakukan persembahyangan atau ritual keagamaan. Maka pada hari jumat legi itu banyak orang yang mengadakan "tirakatan" atau mengadakan doa dan semedi pada malam hari untuk memohon atau berdoa kepada Yang Maha kuasa. Sedangkan pada daerah lain justru malam Jumat Kliwon itu hari yang baik. Ketika umat katolik mengakulturasi tirakatan dengan hari baik pada tanggalan jawa yaitu malam Jumat Legi di Puh Sarang, dan pada saat itu tirakatan masih dilakukan di Gedung Serbaguna ternyata banyak yang para pengunjung yang datang terutama masyarakat jawa yang memeluk agama katolik.
Tirakatan ini yang kini dilakukan menurut penagggalan jawa ini dimulai pada pukul 00.00, yang dilakukan pertama dalam acara itu yaitu  berdoa rosario dan Litani Bunda Maria kemudian merayakan misa malam hari. Misa ini diiringi dengan gamelan dan lagu-lagu Jawa sehingga menambah kekhidmatan (menggunakan gamelan dikarenakan akulturasi alat musik yang biasanya menggunakan gitar, gamelan ini sebagai simbol bahwasannya penduduk jawa lebih khidamat untuk mendengar alunan musik tersebut). Disini kita dapat mendeskripsikan acara misa tirakatan malam Jumat Legi tersebut. Jika ditinjau dari kacamata iman katolik Atau bila dilihat dari sisi antropologi agama yang tergantung dari apa yang dilakukan dan isi dari tirakatan itu. Kita dapat melihat acara upacara ritual  pada daerah lain yang disucikan dengan menggunakan  kemenyan, berdoa kepada para makhluk halus atau lelembut dan melakukan tindakan asusila seperti yang terjadi di Gunung Kemukus (Jawa Tengah) jelas itu tidak sesuai dengan ajaran umat beragama yang lain dan sudah menjadi bagian dari budaya kejawen bagi masyarakat jawa maupun suatu keperceyaan masyarakat diluar jawa, yang mana dengan cara tersebut mereka yang melakukannya akan mudah mendatangkan rezeki. Akantetapi berbeda dengan orang yang berdoa dan mengadakan misa pada malam Jumat Legi, sejauh orang tidak mengkaitkan apa yang diinginkannya
terkabulnya doanya dengan malam Jumat Legi itu sendiri, tapi hanya memilih Jumat Legi sebagai memudahkan ingatan dan membantu suasana maka tidak bertentangan dengan iman katolik.
Dalam gereja terdapat usaha-usaha yang dinamakan inkulturasi di mana kita mencoba mengambil alih tradisi atau budaya umat yang baik dipergunakan sebagai ungkapan iman katolik. Kita mengambil contoh misalnya kebiasaan mendoakan arwah umat pada hari ke 40, 100, 1000 hari itu adalah tradisi dari nenek moyang yang dikristenkan. Dalam hal ini kita dapat berpandangan tetang mengapakah mesti berdoa pada tengah malam? Suasana keheningan tengah malam bisa membantu orang untuk lebih berkonsentrasi dalam doa, membantu orang mendapatkan keheningan hatinya.
Dalam melakukan malam tirakatan juga di sertai dengan pembacaan Doa Novena Kepada Santa Maria di Lourdes (ini didoakan bersama setiap Novena doa Jumat Legi di Puh Sarang) Santa Perawan Maria yang suci dan tak ternoda, Bunda belas kasih, Penyembuh orang-orang sakit. Pelindung para pendosa, Penghibur orang yang berduka. Engkau mengetahui kehutuhan-kehutuhan kami, kesusahan kami, penderitaan kami. Pandanglah kami dengan helas kasihmu. Ketika engkau menampakkan diri di Gums Lourdes, engkau menjadikan tempat itu sebagai tempat kudus yang khusus, di mana engkaiu membagi-bagikan anugerah-anugerahmu. Banyak penderita memperoleh kesemhuhan. dari penyakit mereka, baik yang jasmani maupun yang rohani. Oleh karma itu kami datang ruang hadapmu, dengan penuh keyakinan, untuk mohon perantaraanmu sebagai seorang ibu. Bunda kami yang terkasih, kabulkan1ah permintaan kami. Kami akan mencoba meneladani keutamaan-keutamaanmu, agar suatu hari kami dapat ikut bersamamu dan bahagia abadi di sorga bersama engkau dan Puteramu. Tuhan kami Yesus Kristus, untuk selama-lamanya. Amin.Tiga (3x) SALAM MARIA. Dari kata-kata diatas tadi adalah secuplik bacaan doa-doa dalam melakukan peribadatan baik dalam melakukan pada saat jum’at legi atau pada saat beribadah biasanya.


Hubungan antar umat beragama
Dalam pelaksanaan upcara itu adanya sifat kebersamaan dan toleransi sesama agama, baik dari aspek sejak perlaksanaan persiapan sampai pelaksanaannya; mereka saling bekerja sama dengan sesama umatnya atau simpatisan agama lain, sehingga dapat dilihat dari struktur keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat setempat atau umat simpatisan agama lain tertarik dengan perayaan atau upacara itu karena merasa ikut memiliki adanya proses pemberdayaan atau inkulturasi budaya jawa. Dalam upacara yang bersifat khusus itu,telah menjadi ajang keramain desa, yang mana yang hadir tidak hanya umat setempat dan ada pula tidak hanya umat katolik saja, tetapi datang dari berbagai daerah serta umat simpatisan agama lain.upacara atau perayaan malam tirakatan yang dilaksanakan pada setiap malam jum’at legi, mempunyai suatu alasan tersendiri dalam memilih hari tersebut karena ada yang menganggap bahwa hari yang baik dan banyak mengandung nilai keberkahan, disamping itu juga tempat itu juga digunakan menjadi obyek wisata ziarah, terutama dalam rangka pelestarian cagar budaya. Dalam kepercayaan keagamaan di daerah itu adalah mengenai bentuk kemasyarakatan dan ritual agama sebenarnya merupakan suatu perayaan yang berhubungan erat dengan masyarakat desa dan para pelaku ritual dan juga para penziarah. Maksud ritual itu sendiri adalah dapat pula diinterpretasikan sebagai suatu kontrol sosial, seperti ahli antropologi mengatakan bahwa cara ritual agama pada dasarnya bermaksud untuk memperkuat tradisi ikatan sosial diantara sesama individu (Favazza, 1998: 211). 
Ritual yang penuh dengan simbolisme itu tidak hanya relatif sebagai alat yanng efektif untuk menghimpun umat komunitas, tetapi juga memantapkan solidaritas dan koherensi kelompok atau dalam penanaman sifat kebersamaan. Semua umat yanng hadir menyadari ataupun merasakan suatu keikutsertaan, kebersamaan, kesempatan mengadakan kontak sosial yang biasanya cukup langka menjadi berubah menyegarkan atau memperbarui rasa solidaritas. Suatu upacara atau perayaan yang bersifat ritual itu terutama untuk memahami sesuatu yang telah diperankan oleh agama dalam kehidupan masyarakat. Agama yang pada hakikatnya bersinggungan dengan titik kritis manusia yang ditandai dengan sifat khusus inilah yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, yang dalam arti mempunyai suatu hal pengalaman ”yang suci”. Sentuhan estetis dalam kesadaran keagamaan (relegiusitas) termasuk upacara ritual dapat tampak dalam tiga bentuk, yaitu upacara korban, pengakuan, dan dosa  yanng mana bentuk itu ada dalam upacara ritual. Kebudayaan yang berfungsi menguhubungkan manusia dengan alam di sekitarnya, dan dengan masyarakat di mana manusia menjadi warga. Kebudayaan adalah cara hidup berkelompok, bukan perseorangan yaitu corak hidup yang di atur, ditetapkan dan dusyahkan masyarakat (Glinka, 1984: 31). Karena dari gereja (tempat peribadatan lain pula) juga sebagai kelompok masyarakat yang dianggap sebagai tanda penerus karya keselamatan pada saat ini, dan tempat gereja itu berada, maka harus mencerminkan aspirasi bangsa atau budaya masyarakat.    

Konsep Ritual
Ritual merupakan salah satu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yanng luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalam itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang ”tertinggi”, dan hubungan yanng bersifat umum tetapi sesuatu itu dapat bersifat istimewa. Dalam ritual keagamaan yang dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah ”pengungkapan iman”(Jacobs, 1987: 28). Oleh karena itu upacara atau ritual agama yang diselenggarakan pada beberapa tempat dan waktu yanng khusus pada perbuatan yang lauar biasa dan berbagai perlatan ritus lain yang bersifat sakral. Ketika agama berbicara masalah unsur-unsur ritualnya, yang mana dalam ritual agama tidaka dapat dielakkan lagi adanya camapuran seni yang menjadi satu kesatuan yang akrab dalam jawa menyebutnya luluh, sebagaimana kegiatan itu pengalaman keimanan yang sekaligus juga pengalaman estetis. Bentuk ritual yang merupakan transformasi simbolis dari beberapa pangalaman kebutuhan primer manusia, maka suatau kegiatan spontan, tanpa rancangan, dan kadang kalanya tidak disadari namun polanya benar alamiah. Kegiatan semacam itu dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan jenis ritus magi yang didalamnya mengandung suatu kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyang. Sehubungan dengan itu dalam realitas sosial yang ada, kehadiran atau kedudukan suatu seni dalam agama katolik sebagai fungsi ritual yang tak ubahnya seperti fungsi sosial.keterkaitan seni dan agama nampak begitu erat ketika berbicara tentang ritual. 
 
Religiusitas masyarakat terhadap malam tirakatan jum’at legi di Gua Bunda Maria
Keberagaman atau religiusitas adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Aktifitas beragama yang erat berkaitan dengan religiousitas, bukan hanya terjadi ketika melakukan ritual (ibadah) tetapi juga aktivitas lain yang didorong kekuatan batin (Ancok, 2001:76). Jadi sikap religiusitas merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Mengindarkan dari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah (Rahmat, 1996:133). Religiusitas dapat kita lihat dari aktivitas beragama dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara rutin dankonsisten.  Salah satu hal yang sering diperbincangkan bersamaan dengan religiusitas adalah Kecerdasan Emosi. Kecerdasan emosi semula diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Universitas Harvard dan John Mayer dari Universitas New Hampshire. Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya monumentalnya Emotional Intellegence(JamaludinAhmad) Permasalahan yang berkembang saat ini adalah apakah agama atau keberagamaan akan mempengaruhi kecerdasan emosinya Berpegang pada pengertian religiusitas, kita dapat menganalisis kualitas keberagamaan bangsa kita. Sebagai Contoh, banyak orang kaya tetapi kikir dan tidak mau membantu meringankan penderitaan kaum fakir miskin.Ada orang-orang yang ibadatnya rajin, tetapi mencari "pesugihan" ke tempat-tempat keramat, minta pertolongan kepada jin, setan, tuyul dan lain-lain agar mereka menjadi orang kaya, hal tersebut menunjukkan kondisi religiusitas seseorang yang belum memiliki lima dimensi itu selengkapnya. 
Sebagai yang telah diketahui tetapi di luar dugaan kita, dia berbuat yang melanggar norma agama. Maka kita harus ingat, bahwa tidak semua orang yang mengaku beragama telah memiliki dimensi religiusitas selengkapnya. Dalam suatu kesadaran spiritual, 212bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan dan perlindungan Tuhan. Oleh karena itu orang tersebut mudah tergoda oleh bujukan setan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
 
Konsep relegiusitas  
Dalam hal ini religiusitas dirumuskan dengan bahasa berbeda. Salah satunya memberikan pengertian bahwa Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Dalam pengertian lain dari religiusitas adalah intensitas keberagamaan, yang dalam hal ini pengertian yang penulis maksud bahwa intensitas adalah ukuran, tingkat (KBBI, 1996:383).

Menurut R. Stark dan C.Y. Glock dalam bukunya American Piety : The Nature of Religious Commitment ( 1968 ) religiusitas ( religiosity) meliputi lima dimensi :
Pertama: Dimensi Ritual, yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah, berdoa pribadi, puasa. Dimensi ritual ini merupakan peirlaku keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual merupakan sentimen secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan pasti.
Dimensi Ideologis: yaitu yang mengukur tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang bersifar dogmatis dalam agamanya. Misalnya; menerima keberadaan Tuhan, ,malaikat dan setan, surga dan neraka, dan lain-lain. Keberagaman ditinjau dari segi ini misalnya mendarma baktikan diri terhadap masyarakat yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar dan amaliah lainnya dilakukan dengan ikhlas berdasarkan keimanan yang tinggi.
            Dimensi Intelektual; yaitu tentang seberapa jauh seseorang mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh mana seseorang itu mau melakukan aktivitas untuk semakin menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Misalnya; mengikuti seminar keagamaan, membaca buku agama, dan lain-lain.
Secara lebih luas, dimensi intelektual ini memiliki indicator sebagai berikut :
1.
Dimensi intelektual ini menunjukkan tingkat pemahaman seseorang terhadap            doktrin-doktrin agama tentang kedalaman ajaran agama yang dipeluknya.
2. Ilmu yang dimiliki seseorang akan menjadikannya lebih luas wawasan berfikirnya sehingga
perilaku keberagamaan akan lebih terarah.
3. Dia akan lebih memahami antara perintah dan larangan dan bukan sekedar taklid buta.
4. Dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa menyingkap beta besar dan megah ciptaan Tuhan
5. Melalui argumen yang kuat, seseorang memperoleh pengetahuan agama terutama tentang wujud Tuhan,
Dimensi Pengalaman; berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah mengalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhan-nya.
Misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan, dan lain-lain.
Dalam konteks berdoa, Sebagai makhluk manusia pun tidak lepas dari segala bentuk permasalahan dan setiap permasalahan yang dihadapi oleh diri individu yang satu dengan yang lain tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat keimanan masing-masing.

PENGARUH HUBUNGAN TIMBAL BALIK DENGAN MASYARAKAT
               Sebagai makhluk sosial manusia melakukan komunikasi satu sama lainnya. Dalam kelompok sosial yang relegius, komunikasi yang mendukung suatu hal tersebut adalah rasa tenggang rasa antara beragama pada perspektif masyarakat merupakan kesadaran tiap individu guna terciptanya keselarasan sosial. Dalam masyarakat disekitaran poh-sarang dalam menanggapi adanya malam tirakan yang begitu ramai dilingkungan ataupun dengki dengan adanya prosesei malam tirakatan jum’at legi di poh-sarang. Penduduk disana menanamkan rasa solodaritas kebersamaan dan gotong-royong agar terciptanya suatu keselarasan yang terjalin bersama dengan tidak menyinggung atau membuat gaduh pada waktu pelaksanaan peribadatan. Dari apa yang telah didapat dilapangan, maka kita dapat menelaah dan menarik suatu kesimpulan fakta dilapangan, bahwa melalui agama maka suatu hal itu akan dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar dalam membangun kebersamaan guna memenuhi berbagai kebutuhan ruhaniah sampai kebutuhan praktis harian yang disertai aspek relegius.
Dalam masyarakat yang berkembang, pesan keagamaan atau ajaran keagamaan yang disampaikan dengan mengikutsertakan pendekatan rasional empirik. Integrasi antara agama dan komponen budaya dalam masyarakat yang pada dasarnya berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan begitu pengaruh hubungan timbal balik antar agama dan masyarakat adapat terjalin dengan baik.

PEMBERKATAN PATUNG BUNDA MARIA
               Memberkati patung Maria di Gua Lourdes Pub Sarang, yang baru dan cukup besar. Walaupun waktu itu bangunan gua baru selesai kurang lebih 40'% namun telah diadakan pemberkatan patung Maria sebab diharapkan dengan demikian gua yang cukup besar itu nanti bisa selesai pada waktunya yaitu pada pesta Natal tahun 1999 yang akan merupakan pembukaan Yubileum tahun 2000.
Patung Maria yang diberkati merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebili tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter sebab patung Maria yang sekarang ini tingginya 3,5 meter, kalau dihitung dari alas kakinya patung ini tingginya dari bawahmenjadi4meter.
          Patung ini dibuat lebih besar dari contohnya sebab disesuaikan dengan besarnya gua yang tingginya mencapai hampir 18 meter. Diperkirakan umat yang hadir pada waktu itu ada kurang lebih 3000 orang. Pemberkatan sengaja diadakan pada awal bulan Mei supaya selama bulan Mei, bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria, umat katolik di Keuskupan Surabaya lebih giat melakukan devosi kepada Bunda Maria.
          Setelah homili Uskup Surabaya disertai para Romo yang hadir waktu itu naik ke atas untuk memerciki patung dengan air suci, kemudian disusul dengan penyalaan lilin oleh Dr. Agus Harsono, Ketua Panitia Pembangunan Pub, Sarang, Ir. Harry Widyanto, Ir. A.S. Rusli, Ir. Djoko dan Bp. Bernard, mereka inilah orang-orang yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan gua Maria di Puh Sarang.

Kamis, 10 November 2011

ASAL USUL PAYUNG


MENGUAK SEJARAH PAYUNG
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai iklim tropis yang memiliki dua musim yakni musim kemarau dan hujan.  Ketika musim hujan datang terkadang membuat sebagian aktivitas manusia menjadi sedikit terganggu.  Alangkah baiknya jika kita bersiap sebelum gangguan itu datang, seperti kata pepatah “sedia payung sebelum hujan”.  Yak... Payung,  ketika musim hujan datang alat yang satu ini selalu menjadi senjata untuk menangkis serangan hujan agar kita tidak basah kuyup.  Tetapi tak banyak orang yang tahu bagaimana sejarah payung tersebut. 
Payung dalam bahasa inggris adalah umbrella yang berasal dari bahasa latin umbra.  Konon payung ini sudah ada sejak empat ribu tahun yang lalu, dimana bukti tersebut terdapat dalam beberapa artefak kuno yang pernah ditemukan di China, Mesir dan beberapa negara Eropa.  Di China keberadaan payung ini sudah ada sejak tiga ribu lima ratus tahun yang lalu.  Pada mulanya payung di China ini terbuat dari kerangka yang ditutupi oleh kertas berlapiskan lilin agar tidak basah jika terkena air hujan.  Berdasarkan beberapa literatur, disain payung di negara tirai bambu ini berasal dari pohon teratai. 
Berbeda dengan di China, di Eropa awalnya bahan untuk pembuatan payung adalah kayu atau tulang ikan sebagai kerangkanya, batang atau tangkai untuk pegangan payung terbuat dari kayu dan sebagai tudungnya adalah kanvas.  Kemudian pada tahun 1852 baru ditemukan disain payung dengan rangka baja. Di Eropa pada mulanya payung hanya dipergunakan identik dengan wanita tetapi kemudian diciptakanlah payung untuk laki-laki dengan desain warna gelap dan lebih besar ukurannya. 
Di jaman yang sudah modern ini keberadaan payung tetap eksis setelah mencapai masa kejayaannya di Eropa sekitar abad XVI.  Kini kegunaan payung tidak untuk melindungi tubuh dari air hujan atau dipergunakan pada musim hujan saja.  Pada musim panaspun payung digunakan manusia untuk melindungi dari teriknya matahari.  Bahkan payung juga digunakan sebagai style tersendiri.  Sebenarnya kegunaan lain dari payung selain untuk melindungi pemakainya sudah ada sejak jaman Dinasti wei di China.  Ketika itu payung juga digunakan untuk menunjukkan status sosial tertentu dalam kehidupan di istana.  Selain itu payung juga digunakan untuk upacara perkawinan, tari dan kesenian lainnya. 
Saat ini keberadaan payung sudah menyebar ke seluruh belahan dunia layaknya Indonesia dengan proses alkulturasi dan juga difusi.  Dari proses tersebut payung yang merupakan hasil dari budaya memiliki tempat dalam masyarakat.  Terbukti dimana masyarakat memiliki kepercayaan tersendiri tentang payung tersebut.  Secara denotatif payung sangat penting untuk manusia.  Walaupun seiring dengan berkembangnya jaman dan teknologi saat ini payung sudah berinovasi semoga masyarakat tetap mengenang sejarah payung.  

Senin, 03 Oktober 2011

Wayang Thengul

Pagelaran Wayang Thengul Puncak Sedekah Bumi
Ala Desa Ngampel Bojonegoro


Ketika produk budaya dan juga kesenian bangsa ini layaknya wayang kulit dan kesenian lainnya telah di kukuhkan sebagai suatu warisan dunia oleh badan PBB yaitu UNESCO, ketika itu pula kesenian tersebut tidak bisa dengan mudah di klaim sebagai milik bangsa ini lagi.  Terlepas dari polemik yang ada pertunjukkan wayang seolah telah melekat di bangsa ini.  Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pertunjukan wayang, hendaknya mengerti mengenai asal-usul dan perkembangannya.  Akan tetapi tidak mudah dalam mempelajarinya,  karena asal usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat sebagaimana pencatatan sejarah. Akan tetapi orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena wayang merupakan salah satu wujud budaya. Menelusuri asal usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendekiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang. Terdapat persamaan, tetapi tidak sedikit pula  berpeda pendapat mengenai asal-usulnya.  
Ada pendapat yang mengatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna atau klasik , sekitar tahun 1500 SM,  jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia. Mungkin ketika itu wayang dalam bentuknya yang masih sederhana yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti sekarang ini dan perkembangan itu tidak akan pernah diketahui kapan berhentinya layaknya proses evolusi yang akan berlanjut di masa-masa mendatang. Waktu perkembangan budaya wayang bermula zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan ini diyakini bahwa  orang yang sudah meninggal, hanya jasadnya saja yang mati akan tetapi rohnya masih tetap hidup dan  juga diyakini bahwa semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan.   Roh-roh manusia tadi dipercaya bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek moyang yang dipuja atau biasa disebut ‘hyang’ atau ‘dahyang’. Seseorang  bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan perlindungan, melalui mediumisasi yang disebut dengan ‘syaman’. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan dalam pementasan wayang tersebut adalah bahasa Jawa asli.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari pembahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong atau lampu, debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Ketika itu para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.
Pertunjukan wayang thengul di desa Ngampel ini secara garis besar hampir sama dengan pertunjukkan seni wayang kulit yakni disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat atau ritus seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.  Pagelaran wayang thengul di balai desa Ngampel sebenarnya baru diadakan tahun ini dan waktu pelaksanaannya adalah sekaligus sebagai rangkaian acara Nyadran atau masyarakat “plelen” menyebutnya dengan manganan.  Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung. Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Mayoritas  pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi. Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak. Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.  Pagelaran seni budaya wayang thengul di desa Ngampel ini di pimpin oleh seorang dalang yang bernama Mardji Merto Deglek yang mana beliau adalah warga desa Sambiroto. 
Dalam pertunjukan wayang ini, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya. Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok atau masyarakat biasa menyebutnya dengan tayub-an.  Dimana ketika itu sinden atau penyanyi akan menyanyikan lagu dan penonton akan memerikan saweran.  Saweran diberikan ketika penonton tersebut meminta sinden untuk menyanyikan sebuah lagu, ketika pertunjukkan wayang thengul itu mayoritas warga memberikan saweran rata-rata senilai 50 ribu rupiah dan itu hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya. 
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan. Akan tetapi ada beberapa dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang sebelumnya atau diperoleh lewat keturunan. Dalam pementasannya seorang dalang memiliki kebebasan untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja. Improvisasi itu bertujuan untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik.  Dalam pertunjukkan seni wayang thengul, wayangnya meiliki karakteristik warna wajah hampir sama dengan wayang kulit, hanya saja wayang thengul dibuat tiga dimensi.   Warna rias wajah pada wayang sebenarnya mempunyai arti simbolis yang berbeda-beda.  Ada warna merah, putih, hitam, merah muda atau disebut dengan warna jambon. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tidak ada ketentuan umum mengenai warna wajah tersebut.  Mengenai posisi peletakan wayang sendiri juga memiliki arti, seperti terlihat dalam gambar, bahwa wayang yang diletakkan pada posisi sebelah kanan dalang adalah tokoh-tokoh yang meiliki karakter yang abik sedang yang berada di kiri dalang memiliki sifat yang buruk. 
  
Dari pertunjukkan wayang ini sebenarnya dapat dipetik berbagai pelajaran mengenai kehidupan manusia di dunia, karena wayang ini memiliki makna dan filosofi tentang kehidupan. Dalam Antropologi di kenal istilah “life cycle” atau proses ontogenesis.  Dinama manusia itu lahir hingga mati.  Kehidupan adalah suatu rentetan berkesinambungan dan yang lewat menyambungkan yang sekarang; dan horizon masa datang menggiring kita ke arahnya. Seperti dalam ceritera pewayangan yang selalu bercerita mengenai pesan – pesan moral. Dalam masyarakat jawa dikenal istilah “sangkan paraning dumadi” yaitu intinya adalah menceritakan suatu proses dimana manusia itu berasal atau proses terjadinya suatu manusia dan manusia itu mulai tumbuh, berkembang hingga manusia itu mati.  Dalam filosofi itu masih banyak makna yang terkandung di dalamnya dimana manusia diajarkan untuk menjaga keseimbangan hubungan baik secara vertikal dan horisontal. Orang jawa mengatakan bahwa manusia hidup itu adalah untuk belajar bagaimana caranya mati yang artinya manusia itu diharapkan berbuat baik terhadap sesama dan Tuhannya agar kelak meninggal dengan sempurna dan meninggalkan amal yang baik.  Namun, temuan penelitian ini menunjukkan adanya indikasi pergeseran yang disebabkan karena penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi mulai dari cara pementasan wayang dulu dengan sekarang serta yang meliputi pergeseran seperti peristiwa pertunjukan, waktu, penonton, konten, dan ruang, dimana perbedaan ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya pergeseran makna ruang dalam suatu pementasan wayang Jawa.

Senin, 08 Agustus 2011

SUKU KAJANG (BAGIAN 2)

 POTRET KEARIFAN LOKAL SUKU KAJANG DALAM

(KAJANG DALAM ditengah modernisasi)
Kehadiran teknologi ditengah-tengah kehidupan manusia merupakan hal yang sangat penting.  Dengan adanya teknologi, mempermudah mempermudah aktivitas manusia.  Perkembangan teknologi kini semakin pesat seiring dengan majunya zaman.  Ini terbukti dengan terciptanya alat-alat serba canggih yang semakin memanjakan manusia.  Dahulu ketika kita ingin menyapa atau menghubungi kerabat yang jauh domisilinya, kita harus menggunakan surat yang begitu memakan waktu kedatangannya. Dengan ditemukannya teknologi seperti pesawat telepon atau handphone (hp) kita bisa menghubunginya kapan saja sesuai dengan keingiinan kita. Selain itu masih banyak lagi teknologi yang dapat mempermudah kinerja manusia, seperti halnya dengan adanya kendaraan bermotor, internet dan peralatan elektronik lainnya.   Teknologi yang modern kini sangat diperlukan untuk efisiensi waktu, tenaga dan juga pikiran. 
Rumah adat suku Kajang
Berbeda dengan hal tersebut, suku Kajang justru menolak kehadiran teknologi modern tersebut.  Jangan heran jika tak menemukan adanya listrik, motor, televisi dan benda-benda elektronik lainnya ketika memasuki wilayah adat suku Kajang. Itu semua karena amatoa tetap memegang teguh ajaran Kamase masea.  Kehadiran teknologi ditakutkan dapat merusak keharmonisan hubungan manusia dengan alam. 
Lambat laun seiring dengan kecepatan laju perkemabangan teknologi yang menghampiri, membuat para pemuda Kajang Dalam semakin tergoda untuk menggunakannya.  Perubahan pola pikir tersebut terjadi juga karena adanya pembangunan jalan dalam lima tahun terakhir ini yang membuat akses menuju Kajang semakin mudah saja.   Dusun yang merupakan kawasan adat seperti Tombolo, Bongkina, Pangi, Sobu, Barangbina dan Loraya kini sudah terjamah oleh penetrasi infrastruktur tersebut. 
Dengan adanya  perubahan alamiah yang menyentuh suku Kajang, amatoa pun akhirnya mengijinkan kehadiran teknologi modern seperti listrik, motor dan juga lainnya akan tetapi hanya hingga pada pinggiran wilayah keenam dusun adat itu.  Pada tahun 1990 pemerintah menawarkan pembangunan jalan dan pengadaan listrik pada suku Kajang Luar, yakni dusun Balaguna dan Janaya.  Kini Kajang luar pun dibanjiri sepeda motor dan diterangi oleh listrik.  Rumah adatpun sudah terbuat dari tembok. 
Walaupun amatoa telah mengijinkan liatrik dan juga teknologi lainnya ke beberapa wilayah adat, tetapi amatoa juga tetap melarang dan menolak kehadiran listrik di seluruh wilayah adatnya karena tidak sesuai dengan ajaran leluhur.  Menurut ajaran leluhur, selain mengajarkan untuk hidup sederhana dan menjaga kelestarian alam, ajaran tersebut juga melarang penduduknya untuk berdagang, karena dianggap tabu.  Walaupun begitu amatoa membolehkan adanya jual beli dengan membangun pasar tradisional dan juga sekolah akan tetapi letaknya harus diluar wilayah desa adat.  Jadi bagi penduduk yang ingin berdagang atau berbelanja dan juga sekolah harus keluar dari wilayah adat terlebih dahulu.  Keharmonisan antar penduduk tetap terlihat walaupun secara adat wilayah tersebut sudah terbagi menjadi dua.  Itu terlihat ketika mereka berkumpul dan berbincang dengan bahasa konjo yang merupakan campuran dialek Bugis dan Makasar 

Sabtu, 06 Agustus 2011

Layang-layang Purba di Indonesia

MENYUSURI JEJAK PURBA LAYANG-LAYANG
DI GOA KABORI

Goa Kabori merupakan salah satu dari sembilan goa yang terletak di desa Liang Kabori, kecamatan Lohia, kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.  Di dalam goa kabori tersebut ditemukan banyak lukisan pada masa prasejarah dimana gambar dalam goa tersebut dilukis menggunakan campuran getah pohon dan tanah liat yang disebut dengan oker.  Menurut beberapa  penggemar layang-layang dunia mengatakan situs kabori menunjukan awal sejarah layang-layang dunia atau dengan kata lain layang-layang pertama di dunia berasal dari kabupaten Muna. Akan tetapi menurut beberapa arkeolog Indonesia kebenarannya belum bisa dipastikan, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan catatan sejarah disebutkan bahwa temuan layang-layang di China berusia 2400 tahun.  Sedang informasi yang didapat dari penelitian-penelitian beberapa arkeolog Indonesia terkait dengan lukisan-lukisan di dinding goa yang terdapat di Sulawesi, termasuk Sulawesi tenggara usia goa-goa yang ada diperkirakan kurang-lebih 4000-10000 tahun yang lalu.  Apabila goa tersebut dihuni pawa waktu yang sama, dengan demikan berarti bahwa usia layang-layang dari Muna 1600 tahun lebih tua dari layang-layang yang terdapat dari China.  Akan tetapi hal yang mengejutkan terlontar dari ahli arkeolog yang menduga bahwa justru yang melukis gambar-gambar di dinding goa tersebut bukanlah orang asli Muna melainkan dari dari luar pulau Muna.  Pernyataan itu didukung dengan bukti temuan gambar kuda pada lukisan dinding goa tersebut yang mana kuda bukanlah hewan asli Muna melainkan dari china.  Dari lukisan yang ada pada dinding goa juga menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengenal budaya bercocok tanam.  Dimana nenek moyang mereka ketika itu bermain layang-layang sembari menjaga kebun.   Karena layang-layang ketika itu selain untuk bermain juga dipergunakan untuk mengusir hewan yang merusak tanaman di ladang dan kebun mereka. 
Terlepas dari hal itu, terdapat keunikan mengenai kagati (sebutan layang-layang bagi masyarakat setempat) yang berasal dari kabupaten Muna.  Kagati Muna terbuat dari daun kalope yang sudah kering yang kemudian disatukan dengan lidi dimana kerangkanya bersal dari kulit waru.  Karena bentuknya yang besar mencapai tinggi 1,9 meter dan lebar 1,5 meter untuk menerbangkannya harus menggunakan angin yang ekstra kencang.  Angin yang biasa digunakan adalah angin timur yang bertiup pada bulan Juni hingga september.  Kencangnya tiupan angin mampu membuat layang-layang bertahan di angkasa selama 7 hari.  Jika layang-layang mampu bertahan hingga tujuh hari maka layang-layang akan diturunkan dan si pemilik layang-layang akan menggelar syukuran.
Untuk berkunjung ke Liang Kabori dan melihat goa yang berada pada ketinggian 30 meter ini terdapat jalan setapak dan jalan yang dilewati begitu terjal dengan tingkat kemiringan hingga 80 derajat. 






                                                                                    Bersambung....

Jumat, 05 Agustus 2011

SUKU KAJANG (BAGIAN 1)



POTRET KEARIFAN LOKAL SUKU KAJANG DALAM
(Bagian 1)
(KAMASE MASEA”, KAJANG DALAM HIDUP HARMONIS DENGAN ALAM)

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultur.  Banyak suku bangsa yang mendiami bangsa ini dari Aceh hingga Papua dengan berbagai adatnya yang khas.  Perbedaan Kebiasaan yang diturunkan secara turun-temurun merupakan suatu identitas suku tersebut.  Begitu pula dengan suku Kajang yang ada sekitar 200 km arah selatandari Makasar, Sulawesi Selatan ini.    
Suku kajang memiliki keunikan yang kini tetap terjaga dan dipegang teguh oleh Amatoa dan penduduknya.  Amatoa merupakan pemimpin adat tertinggi di dalam suku Kajang ini.  Wilayang adat Suku Kajang sendiri terbagi menjadi dua, yakni Kajang Dalam dan Kajang Luar.  Secara keseluruhan wilayah adat suku Kajang dikelilingi oleh hutan yang masih sangat lestari.  Semua alam suku Kajang sungguh terjanga, ini berkat kearifan lokal suku ini.  Aturan yang ketat diterapkan oleh amatoa untuk menjaga keselarasan manusia dengan alam. 
Kamase masea adalah ajaran hidup yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat suku Kajang.  Kamase masea mengajarkan  masyarakat suku Kajang untuk hidup sederhana dan menjaga kelestarian alam sekitar yang menjadi topangan hidup masyarakat tersebut.  Selain itu Kamase Masea juga mengajarkan untuk berbuat jujur, senantiasa mengekang hawa nafsu, tidak merugikan orang lain dan juga tidak kebliger materi.  Karena sikap materialistis sendiri dapat berakibat buruk dalam kehidupan.  Kehidupan yang bersahaja ini adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap materialisme yang ada dengan tetap memegang teguh etika dan moralitas.  Kebersahajaan dan kesederhanaan ini dapat dilihat dari kehidupan tetua adat setempat dengan rumah yang sangat sederhana.   Menurut pemimpin adat suku tersebut, pemimpin harus hidup lebih bersahaja dari pada orang-orang  yang dipimpinnya. 
Untuk menjaga kelestarian dan keselarasan alam, amatoa menolak teknologi modern seperti listrik, kendaraan bermotor dan alat elektronik lainnya.  Penolakan ini karena benda-benda tersebut cenderung menawarkan kemewahan yang tidak sesuai dengan ajaran leluhur mereka.  Masyarakat yang selalu menggukan busana hitam ini menganggap semua itu dapat merusak keselarasan hidup dengan alam.  Menurut tradisi yang dipegang oleh suku tersebut, alam dan hutan adalah ibu pertiwi yang menyediakan keperluan hidup.  Itu semua tercermin pada peraturan ketat yang ditetapkan oleh amatoa untuk melindungi hutan.  Memang 75% wilayah Kajang adalah hutan dengan luas 331,7 hektar.  Amatoa menjadikan daerah itu sebagai area terlarang. 
Hutan hanya boleh dipergunakan untuk keperluan ritual pemilihan amatoa saja, lainnya hanya boleh digunakan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan saja karena sebenarnya tanah bukan untuk dieksploitasi.  Sungguh potret kehidupan yang perlu untuk dicontoh. 
Bagi turis ataupun wisatawan yang ingin berkunjung ke suku Kajang, mereka harus melepaskan semua pakaian yang mereka kenakan dan menggantinya dengan pakaian serba hitam.  Kemudian mereka harus berjalan kaki melewati jalan berbatu sepanjang kurang lebih 2km, karena kendaraan bermotor hanya boleh hingga ke pintu gerbang desa dan tidak boleh masuk ke dalam suku Kajang Dalam.  Pengunjung dibolehkan membaawa kamera akan tetapi jangan sekali-sekali memotret pemimpin adat dan juga keadaan dalam rumah tinggalnya,itu sangat dilarang.