Rabu, 30 November 2011

RITUAL JUMAT LEGI PUH SARANG



Malam Tirakatan Jum’at Legi di Gua Bunda Maria 



Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri, atau 5 km arah barat dari terminal baru kediri. Jika sudah sampai di perempatan alun- alun kota Kediri lalu selanjutnya menuju ke arah barat, jurusan terminal bus ”Tamanan”, atau jurusan ke kecamatan Semen. Sesampainya di terminal, sekitar 5 kilometer ke barat. Selain itu, dapat juga mengikuti petunjuk ke lokasi yang telah terpasang di setiap perempatan hingga ke lokasi.Untuk datang ke lokasi dapat di tempuh dengan menggunakan segala macam kendaraan.                                                                                  
Sejarah Gua Maria
Konon komplek wisata rohani ini sengaja dibangun menyerupai komplek gua Maria di Lourdes, Prancis. Pembangunan komplek Gua Maria Puhsarang memang dibuat berdasarkan foto-foto lokasi Gua Maria Lourdes yang asli dari Prancis, dengan tujuan agar kita di Indonesia tak perlu jauh-jauh ke Eropa untuk menikmati wisata rohani semacam ini. Cukup ke Kediri di Jawa Timur. Gua Maria Lourdes di Puh Sarang ini sekarang yang menjadi fokus atau titik perhatian utama dari para peziarah. Dulu sebelum ada gua Lourdes, titik perhatian utama adalah Gereja yang Antik. Namun untuk umat katolik, yang sering berziarah ke tempat ziarah untuk Bunda Maria. Gereja Katolik di Puh Sarang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri pada walctu itu, Pastor H. Wolters, CM. Insinyur tersebut juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit. Bangunan gereja Puh Sarang mirip dengan bangunan museum Trowulan, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala. Pastor Wolters, CM, minta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Puh Sarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.
Peletakan batu pertama gereja tersebut dilakukan pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh Mgr. Th. de Backere, CM, Prefektur Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa.
Gereja di Puh Sarang mirip dengan perahu yang menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat di mana dulu perahu nabi Nuh terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa (Kej 8:4), sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau melambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nuh dan keluarganya yang percaya pada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.

Pembangunan atau Penemuan Gereja Poh-sarang
            Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Pohon Kepuh, tampaknya merupakan asal nama ini. Posisinya berada di lereng timur Gunung Klotok, Kompleks Pegunungan Wilis, berupa kawasan berkontur, berudara dingin, dan batu menjadi kekayaan desa ini. Sungai Kadek yang melewati Puh Sarang dipenuhi batu, sehingga batu kemudian menjadi mata pencaharian kedua, selain sawah.. Gereja Puh Sarang menarik karena fisik bangunan gerejanya. Arsitekturnya sengaja dibikin setengah mirip dengan candi-candi Jawa Hindu di Jatim dan Jateng kuno. Keunikan itu tampaknya muncul disebabkan oleh pilihan metode dakwah pendirinya, Pastor Wolters CM, dibantu seorang antropolog arsitektur Ir Henricus Maclaine Pont.             Melalui gereja tersebut berusaha melakukan inkulturasi, proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap untuk memahamkan ajaran gereja komunitas lokalnya. Puh Sarang didirikan sebagai gereja inkulturasi dengan pendasaran pada filsafat Hindu-Jawa. Keuskupan Surabaya juga merestui pembangunan Gua Bunda Maria Lourdes yang megah lengkap dengan plaza tempat permenungan yang bisa menampung ribuan orang. Di situ pun dibangun replika jalan salib Golgota, pondok-pondok Rosario yang nantinya akan diresmikan pada Upacara besar Pembukaan Jubileum Agung tahun 2000 itu tadi. Tidak heran jika Puh Sarang kini berkembang menjadi daerah tujuan wisata baru. Tanah-tanah sekitar lokasi Puh Sarang kini harganya melonjak karena datangnya pembeli tanah dari Jakarta, yang merencakan hendak membangun penginapan-penginapan.
Tirakatan malam jum’at legi
Saat Jumat Legi, jalan desa dipenuhi kendaraan peziarah dari luar kota. Sekitar 3.000-an orang umat Katolik datang ke gereja Puh Sasarang, berziarah, berdoa di depan Gua Bunda Maria Lourdes. Puh sarang banyak dikunjungi umat Katolik terutama pada hari Kamis Kliwon malam jumat Legi (dalam kalender Jawa). Bahkan ada yang sudah berkumpul sejak Kamis Kliwon sore untuk menghindari kemacetan di sepanjang jalan menuju Gua Maria Lourdes. Hal ini dilakukan agar tepat pukul 24.00 WIB para peziarah dapat mengikuti Doa Rosario yang dilanjutkan dengan perarakan menuju ke Gua Maria Lourdes dan Misa Tirakatan berbahasa Indonesia diiringi musik tradisional. Misa Tirakatan Malam Jumat Legi ini selesai menjelang pagi, yaitu pukul 02.00 WIB. Dari semenjak 11 oktober 1999 diadakan suatu usaha baru untuk mengundang para peziarah dengan mengadakan misa pada malam Jumat Legi. Dalam praktek secara konkret misa ini diadakan pada Kamis Malam menjelang Jumat, sebab dalam perhitungan kalender Jawa hari Kamis Kliwon sejak matahari terbenam sudah masuk atau dianggap sebagai hari Jumat Legi.
Bagi mereka para penziarah yang kurang memahami kalender Jawa, dalam Kalender Jawa hari itu dibagi menjadi lima: Paing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Dan tigapuluh hari sekali akan jatuh pada hari yang sama, sehingga tiap 35 hari sekali akan ada hari Jumat Legi. Menurut keyakinan orang-orang yang masih menganut paham Kejawen di Jawa Timur ini malam Jumat Legi merupakan hari yang baik, hari yang baik dalam melakukan persembahyangan atau ritual keagamaan. Maka pada hari jumat legi itu banyak orang yang mengadakan "tirakatan" atau mengadakan doa dan semedi pada malam hari untuk memohon atau berdoa kepada Yang Maha kuasa. Sedangkan pada daerah lain justru malam Jumat Kliwon itu hari yang baik. Ketika umat katolik mengakulturasi tirakatan dengan hari baik pada tanggalan jawa yaitu malam Jumat Legi di Puh Sarang, dan pada saat itu tirakatan masih dilakukan di Gedung Serbaguna ternyata banyak yang para pengunjung yang datang terutama masyarakat jawa yang memeluk agama katolik.
Tirakatan ini yang kini dilakukan menurut penagggalan jawa ini dimulai pada pukul 00.00, yang dilakukan pertama dalam acara itu yaitu  berdoa rosario dan Litani Bunda Maria kemudian merayakan misa malam hari. Misa ini diiringi dengan gamelan dan lagu-lagu Jawa sehingga menambah kekhidmatan (menggunakan gamelan dikarenakan akulturasi alat musik yang biasanya menggunakan gitar, gamelan ini sebagai simbol bahwasannya penduduk jawa lebih khidamat untuk mendengar alunan musik tersebut). Disini kita dapat mendeskripsikan acara misa tirakatan malam Jumat Legi tersebut. Jika ditinjau dari kacamata iman katolik Atau bila dilihat dari sisi antropologi agama yang tergantung dari apa yang dilakukan dan isi dari tirakatan itu. Kita dapat melihat acara upacara ritual  pada daerah lain yang disucikan dengan menggunakan  kemenyan, berdoa kepada para makhluk halus atau lelembut dan melakukan tindakan asusila seperti yang terjadi di Gunung Kemukus (Jawa Tengah) jelas itu tidak sesuai dengan ajaran umat beragama yang lain dan sudah menjadi bagian dari budaya kejawen bagi masyarakat jawa maupun suatu keperceyaan masyarakat diluar jawa, yang mana dengan cara tersebut mereka yang melakukannya akan mudah mendatangkan rezeki. Akantetapi berbeda dengan orang yang berdoa dan mengadakan misa pada malam Jumat Legi, sejauh orang tidak mengkaitkan apa yang diinginkannya
terkabulnya doanya dengan malam Jumat Legi itu sendiri, tapi hanya memilih Jumat Legi sebagai memudahkan ingatan dan membantu suasana maka tidak bertentangan dengan iman katolik.
Dalam gereja terdapat usaha-usaha yang dinamakan inkulturasi di mana kita mencoba mengambil alih tradisi atau budaya umat yang baik dipergunakan sebagai ungkapan iman katolik. Kita mengambil contoh misalnya kebiasaan mendoakan arwah umat pada hari ke 40, 100, 1000 hari itu adalah tradisi dari nenek moyang yang dikristenkan. Dalam hal ini kita dapat berpandangan tetang mengapakah mesti berdoa pada tengah malam? Suasana keheningan tengah malam bisa membantu orang untuk lebih berkonsentrasi dalam doa, membantu orang mendapatkan keheningan hatinya.
Dalam melakukan malam tirakatan juga di sertai dengan pembacaan Doa Novena Kepada Santa Maria di Lourdes (ini didoakan bersama setiap Novena doa Jumat Legi di Puh Sarang) Santa Perawan Maria yang suci dan tak ternoda, Bunda belas kasih, Penyembuh orang-orang sakit. Pelindung para pendosa, Penghibur orang yang berduka. Engkau mengetahui kehutuhan-kehutuhan kami, kesusahan kami, penderitaan kami. Pandanglah kami dengan helas kasihmu. Ketika engkau menampakkan diri di Gums Lourdes, engkau menjadikan tempat itu sebagai tempat kudus yang khusus, di mana engkaiu membagi-bagikan anugerah-anugerahmu. Banyak penderita memperoleh kesemhuhan. dari penyakit mereka, baik yang jasmani maupun yang rohani. Oleh karma itu kami datang ruang hadapmu, dengan penuh keyakinan, untuk mohon perantaraanmu sebagai seorang ibu. Bunda kami yang terkasih, kabulkan1ah permintaan kami. Kami akan mencoba meneladani keutamaan-keutamaanmu, agar suatu hari kami dapat ikut bersamamu dan bahagia abadi di sorga bersama engkau dan Puteramu. Tuhan kami Yesus Kristus, untuk selama-lamanya. Amin.Tiga (3x) SALAM MARIA. Dari kata-kata diatas tadi adalah secuplik bacaan doa-doa dalam melakukan peribadatan baik dalam melakukan pada saat jum’at legi atau pada saat beribadah biasanya.


Hubungan antar umat beragama
Dalam pelaksanaan upcara itu adanya sifat kebersamaan dan toleransi sesama agama, baik dari aspek sejak perlaksanaan persiapan sampai pelaksanaannya; mereka saling bekerja sama dengan sesama umatnya atau simpatisan agama lain, sehingga dapat dilihat dari struktur keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat setempat atau umat simpatisan agama lain tertarik dengan perayaan atau upacara itu karena merasa ikut memiliki adanya proses pemberdayaan atau inkulturasi budaya jawa. Dalam upacara yang bersifat khusus itu,telah menjadi ajang keramain desa, yang mana yang hadir tidak hanya umat setempat dan ada pula tidak hanya umat katolik saja, tetapi datang dari berbagai daerah serta umat simpatisan agama lain.upacara atau perayaan malam tirakatan yang dilaksanakan pada setiap malam jum’at legi, mempunyai suatu alasan tersendiri dalam memilih hari tersebut karena ada yang menganggap bahwa hari yang baik dan banyak mengandung nilai keberkahan, disamping itu juga tempat itu juga digunakan menjadi obyek wisata ziarah, terutama dalam rangka pelestarian cagar budaya. Dalam kepercayaan keagamaan di daerah itu adalah mengenai bentuk kemasyarakatan dan ritual agama sebenarnya merupakan suatu perayaan yang berhubungan erat dengan masyarakat desa dan para pelaku ritual dan juga para penziarah. Maksud ritual itu sendiri adalah dapat pula diinterpretasikan sebagai suatu kontrol sosial, seperti ahli antropologi mengatakan bahwa cara ritual agama pada dasarnya bermaksud untuk memperkuat tradisi ikatan sosial diantara sesama individu (Favazza, 1998: 211). 
Ritual yang penuh dengan simbolisme itu tidak hanya relatif sebagai alat yanng efektif untuk menghimpun umat komunitas, tetapi juga memantapkan solidaritas dan koherensi kelompok atau dalam penanaman sifat kebersamaan. Semua umat yanng hadir menyadari ataupun merasakan suatu keikutsertaan, kebersamaan, kesempatan mengadakan kontak sosial yang biasanya cukup langka menjadi berubah menyegarkan atau memperbarui rasa solidaritas. Suatu upacara atau perayaan yang bersifat ritual itu terutama untuk memahami sesuatu yang telah diperankan oleh agama dalam kehidupan masyarakat. Agama yang pada hakikatnya bersinggungan dengan titik kritis manusia yang ditandai dengan sifat khusus inilah yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, yang dalam arti mempunyai suatu hal pengalaman ”yang suci”. Sentuhan estetis dalam kesadaran keagamaan (relegiusitas) termasuk upacara ritual dapat tampak dalam tiga bentuk, yaitu upacara korban, pengakuan, dan dosa  yanng mana bentuk itu ada dalam upacara ritual. Kebudayaan yang berfungsi menguhubungkan manusia dengan alam di sekitarnya, dan dengan masyarakat di mana manusia menjadi warga. Kebudayaan adalah cara hidup berkelompok, bukan perseorangan yaitu corak hidup yang di atur, ditetapkan dan dusyahkan masyarakat (Glinka, 1984: 31). Karena dari gereja (tempat peribadatan lain pula) juga sebagai kelompok masyarakat yang dianggap sebagai tanda penerus karya keselamatan pada saat ini, dan tempat gereja itu berada, maka harus mencerminkan aspirasi bangsa atau budaya masyarakat.    

Konsep Ritual
Ritual merupakan salah satu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yanng luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalam itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang ”tertinggi”, dan hubungan yanng bersifat umum tetapi sesuatu itu dapat bersifat istimewa. Dalam ritual keagamaan yang dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah ”pengungkapan iman”(Jacobs, 1987: 28). Oleh karena itu upacara atau ritual agama yang diselenggarakan pada beberapa tempat dan waktu yanng khusus pada perbuatan yang lauar biasa dan berbagai perlatan ritus lain yang bersifat sakral. Ketika agama berbicara masalah unsur-unsur ritualnya, yang mana dalam ritual agama tidaka dapat dielakkan lagi adanya camapuran seni yang menjadi satu kesatuan yang akrab dalam jawa menyebutnya luluh, sebagaimana kegiatan itu pengalaman keimanan yang sekaligus juga pengalaman estetis. Bentuk ritual yang merupakan transformasi simbolis dari beberapa pangalaman kebutuhan primer manusia, maka suatau kegiatan spontan, tanpa rancangan, dan kadang kalanya tidak disadari namun polanya benar alamiah. Kegiatan semacam itu dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan jenis ritus magi yang didalamnya mengandung suatu kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyang. Sehubungan dengan itu dalam realitas sosial yang ada, kehadiran atau kedudukan suatu seni dalam agama katolik sebagai fungsi ritual yang tak ubahnya seperti fungsi sosial.keterkaitan seni dan agama nampak begitu erat ketika berbicara tentang ritual. 
 
Religiusitas masyarakat terhadap malam tirakatan jum’at legi di Gua Bunda Maria
Keberagaman atau religiusitas adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Aktifitas beragama yang erat berkaitan dengan religiousitas, bukan hanya terjadi ketika melakukan ritual (ibadah) tetapi juga aktivitas lain yang didorong kekuatan batin (Ancok, 2001:76). Jadi sikap religiusitas merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Mengindarkan dari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah (Rahmat, 1996:133). Religiusitas dapat kita lihat dari aktivitas beragama dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara rutin dankonsisten.  Salah satu hal yang sering diperbincangkan bersamaan dengan religiusitas adalah Kecerdasan Emosi. Kecerdasan emosi semula diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Universitas Harvard dan John Mayer dari Universitas New Hampshire. Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya monumentalnya Emotional Intellegence(JamaludinAhmad) Permasalahan yang berkembang saat ini adalah apakah agama atau keberagamaan akan mempengaruhi kecerdasan emosinya Berpegang pada pengertian religiusitas, kita dapat menganalisis kualitas keberagamaan bangsa kita. Sebagai Contoh, banyak orang kaya tetapi kikir dan tidak mau membantu meringankan penderitaan kaum fakir miskin.Ada orang-orang yang ibadatnya rajin, tetapi mencari "pesugihan" ke tempat-tempat keramat, minta pertolongan kepada jin, setan, tuyul dan lain-lain agar mereka menjadi orang kaya, hal tersebut menunjukkan kondisi religiusitas seseorang yang belum memiliki lima dimensi itu selengkapnya. 
Sebagai yang telah diketahui tetapi di luar dugaan kita, dia berbuat yang melanggar norma agama. Maka kita harus ingat, bahwa tidak semua orang yang mengaku beragama telah memiliki dimensi religiusitas selengkapnya. Dalam suatu kesadaran spiritual, 212bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan dan perlindungan Tuhan. Oleh karena itu orang tersebut mudah tergoda oleh bujukan setan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
 
Konsep relegiusitas  
Dalam hal ini religiusitas dirumuskan dengan bahasa berbeda. Salah satunya memberikan pengertian bahwa Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Dalam pengertian lain dari religiusitas adalah intensitas keberagamaan, yang dalam hal ini pengertian yang penulis maksud bahwa intensitas adalah ukuran, tingkat (KBBI, 1996:383).

Menurut R. Stark dan C.Y. Glock dalam bukunya American Piety : The Nature of Religious Commitment ( 1968 ) religiusitas ( religiosity) meliputi lima dimensi :
Pertama: Dimensi Ritual, yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah, berdoa pribadi, puasa. Dimensi ritual ini merupakan peirlaku keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual merupakan sentimen secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan pasti.
Dimensi Ideologis: yaitu yang mengukur tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang bersifar dogmatis dalam agamanya. Misalnya; menerima keberadaan Tuhan, ,malaikat dan setan, surga dan neraka, dan lain-lain. Keberagaman ditinjau dari segi ini misalnya mendarma baktikan diri terhadap masyarakat yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar dan amaliah lainnya dilakukan dengan ikhlas berdasarkan keimanan yang tinggi.
            Dimensi Intelektual; yaitu tentang seberapa jauh seseorang mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh mana seseorang itu mau melakukan aktivitas untuk semakin menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Misalnya; mengikuti seminar keagamaan, membaca buku agama, dan lain-lain.
Secara lebih luas, dimensi intelektual ini memiliki indicator sebagai berikut :
1.
Dimensi intelektual ini menunjukkan tingkat pemahaman seseorang terhadap            doktrin-doktrin agama tentang kedalaman ajaran agama yang dipeluknya.
2. Ilmu yang dimiliki seseorang akan menjadikannya lebih luas wawasan berfikirnya sehingga
perilaku keberagamaan akan lebih terarah.
3. Dia akan lebih memahami antara perintah dan larangan dan bukan sekedar taklid buta.
4. Dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa menyingkap beta besar dan megah ciptaan Tuhan
5. Melalui argumen yang kuat, seseorang memperoleh pengetahuan agama terutama tentang wujud Tuhan,
Dimensi Pengalaman; berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah mengalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhan-nya.
Misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan, dan lain-lain.
Dalam konteks berdoa, Sebagai makhluk manusia pun tidak lepas dari segala bentuk permasalahan dan setiap permasalahan yang dihadapi oleh diri individu yang satu dengan yang lain tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat keimanan masing-masing.

PENGARUH HUBUNGAN TIMBAL BALIK DENGAN MASYARAKAT
               Sebagai makhluk sosial manusia melakukan komunikasi satu sama lainnya. Dalam kelompok sosial yang relegius, komunikasi yang mendukung suatu hal tersebut adalah rasa tenggang rasa antara beragama pada perspektif masyarakat merupakan kesadaran tiap individu guna terciptanya keselarasan sosial. Dalam masyarakat disekitaran poh-sarang dalam menanggapi adanya malam tirakan yang begitu ramai dilingkungan ataupun dengki dengan adanya prosesei malam tirakatan jum’at legi di poh-sarang. Penduduk disana menanamkan rasa solodaritas kebersamaan dan gotong-royong agar terciptanya suatu keselarasan yang terjalin bersama dengan tidak menyinggung atau membuat gaduh pada waktu pelaksanaan peribadatan. Dari apa yang telah didapat dilapangan, maka kita dapat menelaah dan menarik suatu kesimpulan fakta dilapangan, bahwa melalui agama maka suatu hal itu akan dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar dalam membangun kebersamaan guna memenuhi berbagai kebutuhan ruhaniah sampai kebutuhan praktis harian yang disertai aspek relegius.
Dalam masyarakat yang berkembang, pesan keagamaan atau ajaran keagamaan yang disampaikan dengan mengikutsertakan pendekatan rasional empirik. Integrasi antara agama dan komponen budaya dalam masyarakat yang pada dasarnya berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan begitu pengaruh hubungan timbal balik antar agama dan masyarakat adapat terjalin dengan baik.

PEMBERKATAN PATUNG BUNDA MARIA
               Memberkati patung Maria di Gua Lourdes Pub Sarang, yang baru dan cukup besar. Walaupun waktu itu bangunan gua baru selesai kurang lebih 40'% namun telah diadakan pemberkatan patung Maria sebab diharapkan dengan demikian gua yang cukup besar itu nanti bisa selesai pada waktunya yaitu pada pesta Natal tahun 1999 yang akan merupakan pembukaan Yubileum tahun 2000.
Patung Maria yang diberkati merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebili tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter sebab patung Maria yang sekarang ini tingginya 3,5 meter, kalau dihitung dari alas kakinya patung ini tingginya dari bawahmenjadi4meter.
          Patung ini dibuat lebih besar dari contohnya sebab disesuaikan dengan besarnya gua yang tingginya mencapai hampir 18 meter. Diperkirakan umat yang hadir pada waktu itu ada kurang lebih 3000 orang. Pemberkatan sengaja diadakan pada awal bulan Mei supaya selama bulan Mei, bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria, umat katolik di Keuskupan Surabaya lebih giat melakukan devosi kepada Bunda Maria.
          Setelah homili Uskup Surabaya disertai para Romo yang hadir waktu itu naik ke atas untuk memerciki patung dengan air suci, kemudian disusul dengan penyalaan lilin oleh Dr. Agus Harsono, Ketua Panitia Pembangunan Pub, Sarang, Ir. Harry Widyanto, Ir. A.S. Rusli, Ir. Djoko dan Bp. Bernard, mereka inilah orang-orang yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan gua Maria di Puh Sarang.

Kamis, 10 November 2011

ASAL USUL PAYUNG


MENGUAK SEJARAH PAYUNG
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai iklim tropis yang memiliki dua musim yakni musim kemarau dan hujan.  Ketika musim hujan datang terkadang membuat sebagian aktivitas manusia menjadi sedikit terganggu.  Alangkah baiknya jika kita bersiap sebelum gangguan itu datang, seperti kata pepatah “sedia payung sebelum hujan”.  Yak... Payung,  ketika musim hujan datang alat yang satu ini selalu menjadi senjata untuk menangkis serangan hujan agar kita tidak basah kuyup.  Tetapi tak banyak orang yang tahu bagaimana sejarah payung tersebut. 
Payung dalam bahasa inggris adalah umbrella yang berasal dari bahasa latin umbra.  Konon payung ini sudah ada sejak empat ribu tahun yang lalu, dimana bukti tersebut terdapat dalam beberapa artefak kuno yang pernah ditemukan di China, Mesir dan beberapa negara Eropa.  Di China keberadaan payung ini sudah ada sejak tiga ribu lima ratus tahun yang lalu.  Pada mulanya payung di China ini terbuat dari kerangka yang ditutupi oleh kertas berlapiskan lilin agar tidak basah jika terkena air hujan.  Berdasarkan beberapa literatur, disain payung di negara tirai bambu ini berasal dari pohon teratai. 
Berbeda dengan di China, di Eropa awalnya bahan untuk pembuatan payung adalah kayu atau tulang ikan sebagai kerangkanya, batang atau tangkai untuk pegangan payung terbuat dari kayu dan sebagai tudungnya adalah kanvas.  Kemudian pada tahun 1852 baru ditemukan disain payung dengan rangka baja. Di Eropa pada mulanya payung hanya dipergunakan identik dengan wanita tetapi kemudian diciptakanlah payung untuk laki-laki dengan desain warna gelap dan lebih besar ukurannya. 
Di jaman yang sudah modern ini keberadaan payung tetap eksis setelah mencapai masa kejayaannya di Eropa sekitar abad XVI.  Kini kegunaan payung tidak untuk melindungi tubuh dari air hujan atau dipergunakan pada musim hujan saja.  Pada musim panaspun payung digunakan manusia untuk melindungi dari teriknya matahari.  Bahkan payung juga digunakan sebagai style tersendiri.  Sebenarnya kegunaan lain dari payung selain untuk melindungi pemakainya sudah ada sejak jaman Dinasti wei di China.  Ketika itu payung juga digunakan untuk menunjukkan status sosial tertentu dalam kehidupan di istana.  Selain itu payung juga digunakan untuk upacara perkawinan, tari dan kesenian lainnya. 
Saat ini keberadaan payung sudah menyebar ke seluruh belahan dunia layaknya Indonesia dengan proses alkulturasi dan juga difusi.  Dari proses tersebut payung yang merupakan hasil dari budaya memiliki tempat dalam masyarakat.  Terbukti dimana masyarakat memiliki kepercayaan tersendiri tentang payung tersebut.  Secara denotatif payung sangat penting untuk manusia.  Walaupun seiring dengan berkembangnya jaman dan teknologi saat ini payung sudah berinovasi semoga masyarakat tetap mengenang sejarah payung.