Sabtu, 23 Juli 2011

SEJARAH


Benteng Selatan Keraton Pleret Terkuak

Siapa yang tak kenal dengan kerajaan Mataram. Baru-baru ini telah ditemukan sisi selatan keraton tersebut.  Setelah dilakukan ekskavasi di Dusun Pungkuran, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul.  Dalam proses ekskavasi itu ditemukan tumpukan batu bata merah dengan ketebalan 2,8 meter.  Benteng Keraton Pleret yang masih tertata kompak dan belum rusak  itu ditemukan setelah dilakukan penggalian di 14 titik dan selain itu juga ditemukan batu andesit dengan dugaan sementara bahwa batu tersebut merupakn batu dari pintu gerbang masuk keraton Mataram Islam.  Menurut staf teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Dul Rahman, bahwa benteng keraton tersebut dibuat dari batu bata merah yang hanya ditumpuk-tumpuk dan disusun tanpa menggunakan perekat.   Penemuan ini sekaligus melengkapi penemuan-penemuan dari ekskavasi sebelumnya yang dilakukan oleh Tim Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM), Balai Arkeologi Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY dan juga BP3 Yogyakarta yang juga melacak keberadaan benteng keraton disisi barat, timur dan utara pada tahun 2005. 
Dengan berdasar pada peta kuno peninggalan Belanda diperkirakan panjang benteng mencapai 2 km mengelilingi kompleks keraton Mataram Islam yang pada waktu itu berada dibawah pimpinan Raja susuhunan Amangkurat I (1646-1667) setelah masehi.  Dengan dasar tersebut kemungkinan pula kompleks tersebut dihuni sebelum akhirnya berpindah ke Kartasura karena diserah oleh Trunojoyo.  Selain alasan tersebut ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa karena keraton mengalami wabah penyakit atau juga bencana sehingga tak layak untuk dihuni dan pada akhirnya ditinggalkan.  

TRADISI MACAPATAN DAN PENCAK MACAN

  MACAPATAN DAN PENCAK MACAN DALAM PITUTUR SERAT SINDUJOYO


PENCAK MACAN
Bagi sebagian masyarakat di Gresik pencak macan dan macapatan tentu bukanlah suatu yang asing untuk didengar.  Akan tetapi keduanya kini mulai terpinggirkan karena kemajuan zaman.  Tradisi pencak macan merupakan sebuah tradisi pengiring pengatin dengan berjalan kaki yang dimulai dari rumah pengatin laki-laki.  Pengatin laki-laki yang telah dirias dan keluar rumah akan disambut dengan hadrah dan salawat kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan kesenian tradisional tabuhan seperti pencak silat.  Secara filosofis kesenian pencak macan ini memiliki arti untuk mengingatkan kepada manusia khusunya pasangan pengantin mengenai lika-liku kehidupan  dalam menjalani bahrtera rumah tangganya. 
Dalam kesenian pencak macan ini diperankan beberapa tokoh seperti macan, monyet, ulama dan juga genderuwo yang masing-masing adalah sebagai simbol yang memiliki makna sendiri.  Tokoh macan dalam pencak macan ini adalah sebagi simbol seorang laki-laki yang memiliki watak keras dengan tanggung jawab tinggi dan juga perkasa.  Dalam kehidupan nyata monyet adalah hewan yang memiliki sifat yang lincah, disini monyet  melambangkan seorang wanita yang lincah, rajin dalam urusan rumah tangaa akan tetapi memiliki sifat yang suka berbuat aneh-aneh.  Sisi baik diperankan oleh tokoh ulama, seni hadrah dan salawat. 
Tokoh ulama, seni hadrah, dan salawat sendiri sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagi penyeimbang,  karena dalam rumah tangga tidak dipungkiri sering terjadi perselisihan dan berakibat pada pertengkaran. Pertengkaran ini dalam pencak macan digambarkan ketika terjadi perkelahian antara macan dan monyet.   Banyak pemicu pertengkaran dalam rumah tangga salah satunya adalah bisikan dan tipu daya  setan yang diperankan oleh tokoh genderuwo.  Tokoh genderuwo adalah sisi buruknya yang melambangkan kemurkaan dan hawa nafsu. 
Ada hal yang tak terlupakan dalam pencak macan yakni hiasan untuk menambah sakral acara ini, diantaranya adalah ketopang atau biasa disebut dengan kembang mayang, obor, pembaca salawat dan juga payung pontang lima yang dibawa oleh lima orang gadis berparas cantik.  Payung pontang lima sendiri terbuat dari daun pisang dengan hiasan janur berisi ketan warna-warni dengan kerucut ditengahnya dan diberi kapas pada ujungnya.  Itu semua sebagai simbol rukun islam dan simbol keanekaragaman golongan dalam islam akan tetapi memiliki satu tujuan. 
MACAPAT.
Macapatan merupakan salah satu kesenian pengiring dalam arak-arakan pengantin pada masyarakat pesisir di Kelurahan Lumpur dan Kroman yang usianya sudah mencapai ratusan tahun.   Mbah Sindujoyo adalah orang yang pertama kali mengenalkan kesenian ini dan sekaligus melestarikannya.  Semuanya terdapat dalam Serat Sindujoyo.  Dalam Serat Sindujoyo banyak mengajarkan tentang kebaikan salah satunya adalah mengenai Pitutur yang ditulis dengan huruf Arab gundul  yang disertai dengan banyak gambar ilustrasi.  Semua itu dikemas dalam bentuk tembang Macapatan
Dengan semakin majunya jaman dan perkembangan teknologi yang semakin memanjakan umat manusia, kini kesenian ini sudah mulai tergilas oleh modernisasi.  Hampir tidak ada generasi muda yang mau belajar mengenai hal ini.  Sangat disayangkan jika budaya adiluhung yang pernah ada ini hilang begitu saja.  Seperti kata pepatah “hidup segan, mati tak mau” begitulah nasib dari kesenian ini.  Kalua bukan pada generasi muda saat ini kepada siapa lagi budaya luhur ini akan diwariskan.  Jangan sampai budaya leluhur yang memiliki banyak pesan tersirat dalam filosofi ini lenyap oleh zaman.  Diperlukan sifat Handarbeni untuk melestarikannya.  Ini adalah salah satu contoh kecil dari kebesaran budaya Indonesia yang sudah mulai terlupakan.  

MEMAYU HAYUNING BAWANA




        MEMBANGUN KEMBALI RATU BOKO
(Kompleks Bangunan Keraton Masa Jawa Klasik)

Jasmerah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah begitu pesan pemimpin pertama negeri ini.  Bangsa ini memiliki begitu banyak sejarah yang patut untuk dibanggakan, entah itu mengenai suatu cerita, benda ataupun berupa budaya. Begitu pula dengan citra candi Ratu Boko yang merupakan sejarah panjang dari kehidupan masa klasik.  Candi yang memiliki keunikan dan wilayah yang sangat luas ini terletak di desa Bokoharjo, kecamatan Prambanan, kabupaten Sleman.  Kini bangunan itu telah berhasil diselamatkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, walaupun tidak secara keseluruhan bisa diselamatkan.  Namun upaya pemugaran terus tetap dilakukan untuk melestarikan peninggalan sejarah zaman klasik itu. 

Bangunan Candi
Candi Ratu Boko adalah candi yang terletak di atas perbukitan Boko, memiliki wilayah yang sangat luas dibandingkan dengan temuan candi-candi yang sudah ada, luas wilayahnya kurang lebih mencapai 160.896 meter persegi atau sekitar 17 hektar dengan ketinggian 195,97 meter di atas permukaan laut. Letak candi Ratu Boko ini tidak jauh dari candi Prambanan yakni 3km dan 1km dari candi Kalasan.  Dari sini kita bisa melihat candi Prambanan dan Kalasan dari ketinggian Candi Ratu Boko.  Candi Ratu Boko ini dikelilingi oleh candi-candi di bagian timur, barat juga tenggara seperti candi Ijo, Barong, Miri, Candi Banyunibo dan reruntuhan candi-candi lainya yang letaknya mengikuti dengan struktur punggng perbukitan Boko.
Canndi Ratu Boko merupakan jenis candi yang digunakan untuk pemujaan atau tempat sembahyang dan juga kompleks pemukiman.  Dengan ditemukannya arca-arca budha dan hindu menjadi dugaan bahwa candi ini dulunya digunakan untuk kegiatan persembahyangan dan sekaligus dikelola atau di pelihara oleh dua agama tersebut selama kurang lebih 100 hingga 200 tahun. 
Berdasarkan temuan prasasti, candi ini didirikan oleh seorang raja bernama Rakai Pikatan pada abad VIII.   Kawasan candi Ratu Boko ini merupakan kompleks kerajaan yang terlihat dari nama-nama bangunan yang ada, seperti halnya pendapa, keputren, paseban dan juga nama lainnya.  Setelah candi ini ditemukan kembali, pemugaran pertama dilakukan oleh seorang arkeolog Belanda bernama  Van Bocckholtz, tahun 1790.  Pada tahun 1915 candi ini di teliti oleh FDK Bosh dan mendapat kesimpulan bahwa candi Ratu Boko merupakan kompleks keraton pada zaman Jawa klasik.  Pemugaran selanjutnya dilakukan pada tahun 1938dan 1973.  Setelah itu pemugaran diambil alih oleh pemerintah Indonesia.  Kemudian pemugaran dilakukan pada situs-situs yang tampak saja dan yang belum terlihat akan terus dilakukan penelitian.  

Sabtu, 16 Juli 2011

Adat Pemasangan Paku Emas Rumah Jawa

Uniknya Arsitektur Rumah Adat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadatnya.  Terdapat banyak adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat Jawa.  Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan tak lepas dari norma adat yang berlaku, seakan-akan setiap tindakannya merupakan cerminan dari adat yang berlaku.  Itu terlihat ketika seseorang mengandung sudah melakukan suatu hajatan hingga bayi itu lahir terdapat upacara seperti sepasaran, pitonan bahkan hingga manusia matipun terdapat upacara atau biasa disebut dengan selamatan. 
Dari sekian banyak tradisi yang ada dalam membuat atau mendirikan rumahpun masyarakat Jawa  memiliki ritus yang harus dilakukan mulai dari babat tempat, peletakan batu pertama.  Itu dilakukan masyarakat semata-mata untuk meminta keselamatan dalam melakukan aktivitas kepada Tuhan mereka.  Ketika pondasi rumah telah berdiri masyarakat Jawa memiliki kebiasaan memasang atau menancapkan paku emas dalam kuda-kuda rumah mereka.   Pemasangannya tidak seperti menancapkan paku seperti biasanya, terdapat sedikit perbedaan yakni orang yang menancapkan paku tersebut biasanya adalah orang yang “pintar” atau orang yang memiliki kelebihan dalam hal magis.  Orang yang memasang biasanya orang yang dituakan di daerahnya.  Dalam pemasangannya terdapat doa-doa yang khusus yang diucapkan.  Tentunya doa-doa keselamatan untuk penghuni rumah pada khususnya. 
Terdapat suatu kepercayaan yang melekat pada masyarakat Jawa terkait pemasangan paku emas tersebut.  Masyarakat percaya bahwa pemasangan paku tersebut akan membawa ketentraman bagi penghuninya, memberikan rasa yang nyaman ketika rumah itu di tempati.  Secara singkat fungsi paku emas tersebut untuk mempertegas kegunaan rumah sebagai pelindung dari ancaman yang datang dari luar rumah.  Selain itu masyarakat Jawa percaya paku tersebut berfungsi untuk tolak-balak.  Artinya paku tersebut dipasang untuk melindungi si penghuni rumah dari kekuatan supranatural atau kekuatan gaib yang datang mengganngu seperti santet, tenung atau gangguan jahat lainnya. 
Sebenarnya tidak ada peraturan adat yang mengharuskan memasang paku emas tersebut ketika mendirikan suatu rumah, akan tetapi masyarakat sendiri merasa ada yang kurang ketika paku tersebut belum ditancapkan.  Semakin majunya jaman yang mendorong pula berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat lambat laun merubah pola pikir masyarakat yang menjadi realistis atau menuju ke ranah yang logis dan sedikit demi sedikit memudarkan tradisi tersebut.  Tidak sedikit pul;a orang yang hidup dijaman yang serba modern seperti sekarang ini yang tetap melakukan ritus ini entah karena mereka ingin melestarikan budaya tersebut dan masih percaya akan hal tersebut atau hanya untuk menghormati kebiasaan yang sudah terbangun lama.  Walaupun banyak tendensi dalam upacara pemasangan paku emas tersebut kita hendaknya saling menghargai dan ikut memiliki juga karena upacara pemasangan paku emas tersebut adalah salah satu warisan budaya bangsa yang memiliki makna yang bisa kita tafsirkan secara personal.