Senin, 08 Agustus 2011

SUKU KAJANG (BAGIAN 2)

 POTRET KEARIFAN LOKAL SUKU KAJANG DALAM

(KAJANG DALAM ditengah modernisasi)
Kehadiran teknologi ditengah-tengah kehidupan manusia merupakan hal yang sangat penting.  Dengan adanya teknologi, mempermudah mempermudah aktivitas manusia.  Perkembangan teknologi kini semakin pesat seiring dengan majunya zaman.  Ini terbukti dengan terciptanya alat-alat serba canggih yang semakin memanjakan manusia.  Dahulu ketika kita ingin menyapa atau menghubungi kerabat yang jauh domisilinya, kita harus menggunakan surat yang begitu memakan waktu kedatangannya. Dengan ditemukannya teknologi seperti pesawat telepon atau handphone (hp) kita bisa menghubunginya kapan saja sesuai dengan keingiinan kita. Selain itu masih banyak lagi teknologi yang dapat mempermudah kinerja manusia, seperti halnya dengan adanya kendaraan bermotor, internet dan peralatan elektronik lainnya.   Teknologi yang modern kini sangat diperlukan untuk efisiensi waktu, tenaga dan juga pikiran. 
Rumah adat suku Kajang
Berbeda dengan hal tersebut, suku Kajang justru menolak kehadiran teknologi modern tersebut.  Jangan heran jika tak menemukan adanya listrik, motor, televisi dan benda-benda elektronik lainnya ketika memasuki wilayah adat suku Kajang. Itu semua karena amatoa tetap memegang teguh ajaran Kamase masea.  Kehadiran teknologi ditakutkan dapat merusak keharmonisan hubungan manusia dengan alam. 
Lambat laun seiring dengan kecepatan laju perkemabangan teknologi yang menghampiri, membuat para pemuda Kajang Dalam semakin tergoda untuk menggunakannya.  Perubahan pola pikir tersebut terjadi juga karena adanya pembangunan jalan dalam lima tahun terakhir ini yang membuat akses menuju Kajang semakin mudah saja.   Dusun yang merupakan kawasan adat seperti Tombolo, Bongkina, Pangi, Sobu, Barangbina dan Loraya kini sudah terjamah oleh penetrasi infrastruktur tersebut. 
Dengan adanya  perubahan alamiah yang menyentuh suku Kajang, amatoa pun akhirnya mengijinkan kehadiran teknologi modern seperti listrik, motor dan juga lainnya akan tetapi hanya hingga pada pinggiran wilayah keenam dusun adat itu.  Pada tahun 1990 pemerintah menawarkan pembangunan jalan dan pengadaan listrik pada suku Kajang Luar, yakni dusun Balaguna dan Janaya.  Kini Kajang luar pun dibanjiri sepeda motor dan diterangi oleh listrik.  Rumah adatpun sudah terbuat dari tembok. 
Walaupun amatoa telah mengijinkan liatrik dan juga teknologi lainnya ke beberapa wilayah adat, tetapi amatoa juga tetap melarang dan menolak kehadiran listrik di seluruh wilayah adatnya karena tidak sesuai dengan ajaran leluhur.  Menurut ajaran leluhur, selain mengajarkan untuk hidup sederhana dan menjaga kelestarian alam, ajaran tersebut juga melarang penduduknya untuk berdagang, karena dianggap tabu.  Walaupun begitu amatoa membolehkan adanya jual beli dengan membangun pasar tradisional dan juga sekolah akan tetapi letaknya harus diluar wilayah desa adat.  Jadi bagi penduduk yang ingin berdagang atau berbelanja dan juga sekolah harus keluar dari wilayah adat terlebih dahulu.  Keharmonisan antar penduduk tetap terlihat walaupun secara adat wilayah tersebut sudah terbagi menjadi dua.  Itu terlihat ketika mereka berkumpul dan berbincang dengan bahasa konjo yang merupakan campuran dialek Bugis dan Makasar 

Sabtu, 06 Agustus 2011

Layang-layang Purba di Indonesia

MENYUSURI JEJAK PURBA LAYANG-LAYANG
DI GOA KABORI

Goa Kabori merupakan salah satu dari sembilan goa yang terletak di desa Liang Kabori, kecamatan Lohia, kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.  Di dalam goa kabori tersebut ditemukan banyak lukisan pada masa prasejarah dimana gambar dalam goa tersebut dilukis menggunakan campuran getah pohon dan tanah liat yang disebut dengan oker.  Menurut beberapa  penggemar layang-layang dunia mengatakan situs kabori menunjukan awal sejarah layang-layang dunia atau dengan kata lain layang-layang pertama di dunia berasal dari kabupaten Muna. Akan tetapi menurut beberapa arkeolog Indonesia kebenarannya belum bisa dipastikan, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan catatan sejarah disebutkan bahwa temuan layang-layang di China berusia 2400 tahun.  Sedang informasi yang didapat dari penelitian-penelitian beberapa arkeolog Indonesia terkait dengan lukisan-lukisan di dinding goa yang terdapat di Sulawesi, termasuk Sulawesi tenggara usia goa-goa yang ada diperkirakan kurang-lebih 4000-10000 tahun yang lalu.  Apabila goa tersebut dihuni pawa waktu yang sama, dengan demikan berarti bahwa usia layang-layang dari Muna 1600 tahun lebih tua dari layang-layang yang terdapat dari China.  Akan tetapi hal yang mengejutkan terlontar dari ahli arkeolog yang menduga bahwa justru yang melukis gambar-gambar di dinding goa tersebut bukanlah orang asli Muna melainkan dari dari luar pulau Muna.  Pernyataan itu didukung dengan bukti temuan gambar kuda pada lukisan dinding goa tersebut yang mana kuda bukanlah hewan asli Muna melainkan dari china.  Dari lukisan yang ada pada dinding goa juga menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengenal budaya bercocok tanam.  Dimana nenek moyang mereka ketika itu bermain layang-layang sembari menjaga kebun.   Karena layang-layang ketika itu selain untuk bermain juga dipergunakan untuk mengusir hewan yang merusak tanaman di ladang dan kebun mereka. 
Terlepas dari hal itu, terdapat keunikan mengenai kagati (sebutan layang-layang bagi masyarakat setempat) yang berasal dari kabupaten Muna.  Kagati Muna terbuat dari daun kalope yang sudah kering yang kemudian disatukan dengan lidi dimana kerangkanya bersal dari kulit waru.  Karena bentuknya yang besar mencapai tinggi 1,9 meter dan lebar 1,5 meter untuk menerbangkannya harus menggunakan angin yang ekstra kencang.  Angin yang biasa digunakan adalah angin timur yang bertiup pada bulan Juni hingga september.  Kencangnya tiupan angin mampu membuat layang-layang bertahan di angkasa selama 7 hari.  Jika layang-layang mampu bertahan hingga tujuh hari maka layang-layang akan diturunkan dan si pemilik layang-layang akan menggelar syukuran.
Untuk berkunjung ke Liang Kabori dan melihat goa yang berada pada ketinggian 30 meter ini terdapat jalan setapak dan jalan yang dilewati begitu terjal dengan tingkat kemiringan hingga 80 derajat. 






                                                                                    Bersambung....

Jumat, 05 Agustus 2011

SUKU KAJANG (BAGIAN 1)



POTRET KEARIFAN LOKAL SUKU KAJANG DALAM
(Bagian 1)
(KAMASE MASEA”, KAJANG DALAM HIDUP HARMONIS DENGAN ALAM)

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultur.  Banyak suku bangsa yang mendiami bangsa ini dari Aceh hingga Papua dengan berbagai adatnya yang khas.  Perbedaan Kebiasaan yang diturunkan secara turun-temurun merupakan suatu identitas suku tersebut.  Begitu pula dengan suku Kajang yang ada sekitar 200 km arah selatandari Makasar, Sulawesi Selatan ini.    
Suku kajang memiliki keunikan yang kini tetap terjaga dan dipegang teguh oleh Amatoa dan penduduknya.  Amatoa merupakan pemimpin adat tertinggi di dalam suku Kajang ini.  Wilayang adat Suku Kajang sendiri terbagi menjadi dua, yakni Kajang Dalam dan Kajang Luar.  Secara keseluruhan wilayah adat suku Kajang dikelilingi oleh hutan yang masih sangat lestari.  Semua alam suku Kajang sungguh terjanga, ini berkat kearifan lokal suku ini.  Aturan yang ketat diterapkan oleh amatoa untuk menjaga keselarasan manusia dengan alam. 
Kamase masea adalah ajaran hidup yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat suku Kajang.  Kamase masea mengajarkan  masyarakat suku Kajang untuk hidup sederhana dan menjaga kelestarian alam sekitar yang menjadi topangan hidup masyarakat tersebut.  Selain itu Kamase Masea juga mengajarkan untuk berbuat jujur, senantiasa mengekang hawa nafsu, tidak merugikan orang lain dan juga tidak kebliger materi.  Karena sikap materialistis sendiri dapat berakibat buruk dalam kehidupan.  Kehidupan yang bersahaja ini adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap materialisme yang ada dengan tetap memegang teguh etika dan moralitas.  Kebersahajaan dan kesederhanaan ini dapat dilihat dari kehidupan tetua adat setempat dengan rumah yang sangat sederhana.   Menurut pemimpin adat suku tersebut, pemimpin harus hidup lebih bersahaja dari pada orang-orang  yang dipimpinnya. 
Untuk menjaga kelestarian dan keselarasan alam, amatoa menolak teknologi modern seperti listrik, kendaraan bermotor dan alat elektronik lainnya.  Penolakan ini karena benda-benda tersebut cenderung menawarkan kemewahan yang tidak sesuai dengan ajaran leluhur mereka.  Masyarakat yang selalu menggukan busana hitam ini menganggap semua itu dapat merusak keselarasan hidup dengan alam.  Menurut tradisi yang dipegang oleh suku tersebut, alam dan hutan adalah ibu pertiwi yang menyediakan keperluan hidup.  Itu semua tercermin pada peraturan ketat yang ditetapkan oleh amatoa untuk melindungi hutan.  Memang 75% wilayah Kajang adalah hutan dengan luas 331,7 hektar.  Amatoa menjadikan daerah itu sebagai area terlarang. 
Hutan hanya boleh dipergunakan untuk keperluan ritual pemilihan amatoa saja, lainnya hanya boleh digunakan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan saja karena sebenarnya tanah bukan untuk dieksploitasi.  Sungguh potret kehidupan yang perlu untuk dicontoh. 
Bagi turis ataupun wisatawan yang ingin berkunjung ke suku Kajang, mereka harus melepaskan semua pakaian yang mereka kenakan dan menggantinya dengan pakaian serba hitam.  Kemudian mereka harus berjalan kaki melewati jalan berbatu sepanjang kurang lebih 2km, karena kendaraan bermotor hanya boleh hingga ke pintu gerbang desa dan tidak boleh masuk ke dalam suku Kajang Dalam.  Pengunjung dibolehkan membaawa kamera akan tetapi jangan sekali-sekali memotret pemimpin adat dan juga keadaan dalam rumah tinggalnya,itu sangat dilarang.

TRADISI RUWATAN

RUWATAN SUDAH ADA DI ZAMAN MAJAPAHIT


Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat multikultur dimana memiliki banyak suku bangsa yang terbentang mulai dari Sabang hingga Merauke.  Setiap suku yang ada memiliki adat istiadat, tradisi yang diturunkan secara turun-temurun kepada generasi penerusnya dan dimana setiapnya juga memiliki kekhasan tersendiri yang sekaligus sebagai identitasnya.  Tradisi ataupun adat istiadat yang ada menyimpan berbagai pesan moral dan sekaligus memiliki norma-norma sebagai suatu kontrol sosial. 
Masyarakat suku bangsa Jawa adalah salah satu dari banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia yang juga memiliki banyak tradisi.  Terdapat suatu tradisi menarik yang dimiliki oleh suku bangsa Jawa terkait dengan ritus purification atau pemurnian kembali yakni upacara ruwatan.  Ruwatan sendiri berasal dari kata “ngruwat” yang berarti lepas atau melepas.  Upacara ruwatan sendiri berarti melepas, membebaskan atau menolak balak/malapetaka yang datang atau menimpa pada diri atau sekelompok orang untuk kembali kepada kondisi yang murni atau bersih. 
Jika dirunut ke belakang, tradisi ruwatan ini sudah ada sejak jaman kerajaan majapahit yakni sekitar 1293-1500 M.  Ini terbukti dengan adanya relief pada beberapa candi peninggalan kerajaan tersebut seperti  yang terdapat pada candi Tegalwangi, Kediri dan juga candi Sukuh di Surakarta.  Pada relief candi-candi tersebut diceritakan mengenai upacara untuk membebaskan dari malapetaka dan kemudian tradisi itu turun menurun hingga sekarang.  Itu terjadi ketika pada masa Majapahit, karena pada masa itu menurut teori Van Person mengenai konsep perubahan budaya, pola pikir mereka berada pada tahap mitis. Konsep perubahan budaya menurut Van Peurson terdiri dari tiga tahapan, yaitu: pertama adalah tahap Mitis (Tradisional), dimana tahapan awal dari kebudayaan manusia. Menurut Van Peurson, pada tahap ini budaya atau pola pikir dan perilaku manusia masih berorientasi pada kosmos atau alam. Budaya yang ada masih dipengaruhi oleh alam sekitar atau lingkungan tempat tinggal manusia. Alam menjadi faktor utama dalam semua budaya manusia.  Kedua adalah tahap Ontologis (Modern) yaitu pada tahap ini, budaya mengalami perubahan dengan menjadikan logika sebagai dasar dari pola pikir dan perilaku manusia. Semua yang dilakukan manusia telah dipikirkan secara matang dan dapat diterima oleh akal sehat. Pada tahap ini alam sudah tidak terlalu berpengaruh pada budaya manusia. Mereka mulai meninggalkan kegiatan-kegiatan atau budaya yang bersifat kosmos.  Dan yang ketiga adalah tahapan fungsional (Postmodern), pada tahap ini, manusia sudah mengalami kejenuhan pada suatu bentuk budaya sehingga menyebabkan menurunnya nilai-nilai humaniora atau kemanusiaan. Manusia berpola pikir dan berperilaku sesuka hatinya.
Pada zaman yang bisa dibilang modern seperti sekarang ini, tradisi ruwatan masih tetap eksist dan masih banyak orang yang melakukan tradisi ini.  Masyarakat Jawa masih mempercayai tradisi ruwatan untuk “tolak bala” agar mereka terhindar dari malapetaka.  Dalam kepercayaan masyarakat Jawa terdapat individu tertentu yang dilahirkan dalam waktu dan keadaan tertentu yang dipercaya sebagai mangsa sang “bathara kala”.  Terdapat tujuh jenis atau istilah dalam kelahiran seseorang yang menyebabkan orang itu termasuk dalam golongan orang yang perlu untuk di ruwat.  Ketujuh golongan tersebut adalah, ontang-anting yakni anak tunggal tanpa memiliki saudara kandung sejak lahir.  Kedana-kedini yaitu keluarga memiliki 2 anak,laki-laki dan perempuan saja.  Julung wangi ( anak yang lahir pada saat matahari terbit), Julung pujud (anak yang lahir bersamaan dengan terbenamnya matahari), kemudian margana (anak yang lahir di perjalanan). 
Selain itu ada lagi yang disebut dengan dampit yaitu anak yang lahir kembar laki-laki dan peremuan yang berasal dari satu rahim. Terakhir adalah condang-kasih yaitu anak yang lahir kembar tetapi berbeda warna kulit, yang satu berkulit hitam dan yang satu berkulit putih. Dalam ruwatan biasanya yang dipimpin oleh seorang dalang dimana dalang yang dipilih adalah dalang yang sudah cukup tua, hal ini dimaksudkan karena telah banyak atau kaya akan pengalaman dalam memimpin suatu ruatan yang memiliki nilai yang sakral.  Dalam pemilihan waktu ruwatan pun bukanlah sembarangan, telah ditentukan hari dan tanggalnya sesuai dengan perhitungan kalender jawa dan diperlukan sesajen dalam proses ruwatan tersebut. Perlu diingat bahwa ketika berbicara mengenai ritus atau upacara selalu terkait dengan 4(empat) hal yakni; alat, tempat, waktu dan pelaku.  Sebagai puncak acaranya biasanya diadakan pagelaran wayang kulit dengan lakon mengenai batara kala.       
Pada kepercayaan masyarakat Jawa ada juga ruwatan yang dilakukan dengan cara lain yang lebih simple yakni seperti dengan melakukan mencukur rambut, menaruh beras di lesung, membakar rambut.  Itu semua dilakukan ketika masyarakat telah melakukan hal yang dianggap kurang baik, atau mendapatkan mimpi buruk ketika tidur agar tidak terjadi dalam kehidupan nyata.  Masih banyak lagi cara yang dilakukan dalam kepercayaan masyarakat Jawa untuk menghilangkan atau membebaskan diri dari batara kala.  Terlepas anda percaya atau tidak, itu semua adalah salah satu warisan budaya leluhur yang adiluhung dan agar tidak tergerus oleh zaman maka harus tetap dijaga kelestariannya.  [GAW]

DANAU POSO





DANAU POSO PEMIKAT YANG HANDAL

Negara Indonesia sungguh merupakan negara yang memiliki banyak potensi.  Alam adalah salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia.  Selain dapat diambil hasil bumi nya, Keindahan alam indonesia juga menyuguhkan berbagai tempat yang indah dan menarik untuk dijadikan daerah wisata. 
Salah satu pesona itu adalah danau Poso.  Danau yang menjadi salah satu obyek wisata favorit dan sekaligus menjadi andalan dari provinsi Sulawesi Tengah ini.  Sungguh indah danau yang memiliki air jernih dengan pasir berwarna putih dan keemasan ini yang membuat danau ini tampak berkilau ketika sinar matahari menyapu danau ini. 
Danau yang merupakan danau terbesar ketiga di Indonesia ini membentang dari utara keselatan sepanjang 32km dan lebarnya mencapai 16 km dengan kedalaman 360 meter di bagian utara danau dan 510 meter di bagian selatannya.  Kemolekan danau ini nampak dari begitu indahnya panorama lereng dan hutannya yang masih perawan yang sekaligus juga menjadi pemikat para wisatawan, apalagi udara yang sangat sejuk membuat kita mersa nyaman dan betah berlama-lama di sana. 
Keindahan danau Poso tak habis disitu saja, kecantikan bunga anggrek yang memikat hati juga tersedia di Taman Anggrek Bancea.  Pengunjung dapat melihat berbagai jenis bunga anggrek langka disini.  Ketika kita berkunjung di bulan Agustus, maka kita dapat menyaksikan Festival Danau Poso yang menyuguhkan pertunjukan berbagai tariandan busana adat suku Sulawesi Tengah.  Selain itu kita juga dapat membeli oleh-oleh karena disana juga terdapat pameran berbagai produk khas dari Sulawesi Tengah. 
Jika berminat untuk pergi ke Danau Poso, anda dapat menempuh perjalanan darat kurang lebih 7 hingga 8 jam dengan jarak 283 km dari kota Palu.  Dan hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam jika perjalanan dimulai kota Poso.  Bagi para pengunjung yang ingin bermalam, disana banyak tersedia penginapan, homestay, losmen ataupun hotel berbagai kelas dan fasilitas.  Selain itu juga banyak tersedia rumah makan ataupun warung yang menyediakan kebutuhan kita saat berlibur disana.  Jadi tak perlu bingung lagi jika anda ingin melihat pesona danau Poso.  

TARI ZAPIN

Tarian Populer Masyarakat Melayu 
Sepanjang Waktu



Keberagaman suku yang sangat banyak membuat Indonesia disebut sebagai negara multikultur.  Terdiri lebih dari 300 suku bangsa yang mendiami negara ini yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia.  Berbagai ragam dan corak budaya tersaji didalamnya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan.  Tradisi juga adat istiadat yang ada diwariskan dari generasi ke generasi yang terlihat dalam wujud budayanya, baik itu dalam sistem ide, perilaku ataupun budaya fisik.  Dimana dari ketiga wujud budaya itu tercipta berbagai kreasi khas seperti seni tari, seni patung,seni pahat, kulineri ataupun kreasi lainnya. 
Namun tak semua budaya itu merupakan produk asli negeri ini yang menampilkan setiap karakter dimana produk budaya itu berasal, tentunya ada pula yang merupakan hasil dari proses alkulturasi dan juga difusi budaya yang sekaligus merupakan rangkuman berbagai peristiwa dan juga sejarah yang pernah dilalui oleh suatu masyarakat.  Sebagai contohnya adalah seni tari yang ada di Indonesia.
Indonesia memiliki kurang lebih 3000 jenis tarian dimana dalam tarian itu terlihat adanya alkulturasi ataupun difusi budaya baik itu dari budaya melanesia dan austronesia ataupun dari negara-negara serumpunnya dan tidak dipungkiri masa kolonialisasi Indonesia cukup panjang juga ikut berpengaruh.  Pengaruh yang ada tersirat dalam kostum yang dikenakan, koreografi  juga musik pengiringnya.  Kini beberapa tarian yang ada bisa dikatakan sudah punah yang dilarenakan oleh banyak faktor.    Akan tetapi tak sedikit juga yang tetap eksis hingga kini dan bahkan dijadikan sebagai tarian pertunjukan. 
Salah satu contohnya adalah tari zapin.  Tarian ini diiringi oleh musik gambus yang menjadikan tarian ini khas.  Tari zapin adalah tarian yang berasal dari Semenanjung Melayu.  Nama zapin berasal dari bahasa arab yakni “Zafn” yang artinya memiliki gerakan kakai yang cepat dan mengikuti ritme musik yang ada.  Dalam tarian ini terjadi peleburan budaya setempat dengan agama islam.  Itu terlihat dari alat musik yang digunakan yakni seperti  gendang, tambur dan rebana yang merupakan alat musik khas Persia dan Arab dipadu dengan busana yang serba tertutup.  Semula taria ini dijadikan media berdakwah karena nyanyian pengiring tarian tersebut mengutip doa-doa dalam agama islam.
Tarian ini dibawa oleh kaum pedagang pada abad 16.  Pada awalnya tari zapin dijadikan tarian untuk menghibur kalangan raja-raja ketika itu. Tari zapin dimainkan oleh kaum pria saja hingga tahun 1960.  Seiring perubahan zaman kini tari zapin bisa dimainkan oleh kaum perempuan dan bahkan bisa dimainkan oleh keduanya.  Sebenarnya tari zapin tak hanya bisa ditemui di Indonesia saja, itu karena tari zapin memang populer di masayarakat melayu.  Ketika berkunjung ke Brunei, Malaysia ataupun singapura tarian ini juga ada disana namun  disana tentunya sedikit berbeda dengan di Indonesia.