Senin, 03 Oktober 2011

Wayang Thengul

Pagelaran Wayang Thengul Puncak Sedekah Bumi
Ala Desa Ngampel Bojonegoro


Ketika produk budaya dan juga kesenian bangsa ini layaknya wayang kulit dan kesenian lainnya telah di kukuhkan sebagai suatu warisan dunia oleh badan PBB yaitu UNESCO, ketika itu pula kesenian tersebut tidak bisa dengan mudah di klaim sebagai milik bangsa ini lagi.  Terlepas dari polemik yang ada pertunjukkan wayang seolah telah melekat di bangsa ini.  Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pertunjukan wayang, hendaknya mengerti mengenai asal-usul dan perkembangannya.  Akan tetapi tidak mudah dalam mempelajarinya,  karena asal usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat sebagaimana pencatatan sejarah. Akan tetapi orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena wayang merupakan salah satu wujud budaya. Menelusuri asal usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendekiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang. Terdapat persamaan, tetapi tidak sedikit pula  berpeda pendapat mengenai asal-usulnya.  
Ada pendapat yang mengatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna atau klasik , sekitar tahun 1500 SM,  jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia. Mungkin ketika itu wayang dalam bentuknya yang masih sederhana yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti sekarang ini dan perkembangan itu tidak akan pernah diketahui kapan berhentinya layaknya proses evolusi yang akan berlanjut di masa-masa mendatang. Waktu perkembangan budaya wayang bermula zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan ini diyakini bahwa  orang yang sudah meninggal, hanya jasadnya saja yang mati akan tetapi rohnya masih tetap hidup dan  juga diyakini bahwa semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan.   Roh-roh manusia tadi dipercaya bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek moyang yang dipuja atau biasa disebut ‘hyang’ atau ‘dahyang’. Seseorang  bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan perlindungan, melalui mediumisasi yang disebut dengan ‘syaman’. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan dalam pementasan wayang tersebut adalah bahasa Jawa asli.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari pembahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong atau lampu, debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Ketika itu para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.
Pertunjukan wayang thengul di desa Ngampel ini secara garis besar hampir sama dengan pertunjukkan seni wayang kulit yakni disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat atau ritus seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.  Pagelaran wayang thengul di balai desa Ngampel sebenarnya baru diadakan tahun ini dan waktu pelaksanaannya adalah sekaligus sebagai rangkaian acara Nyadran atau masyarakat “plelen” menyebutnya dengan manganan.  Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung. Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Mayoritas  pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi. Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak. Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.  Pagelaran seni budaya wayang thengul di desa Ngampel ini di pimpin oleh seorang dalang yang bernama Mardji Merto Deglek yang mana beliau adalah warga desa Sambiroto. 
Dalam pertunjukan wayang ini, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya. Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok atau masyarakat biasa menyebutnya dengan tayub-an.  Dimana ketika itu sinden atau penyanyi akan menyanyikan lagu dan penonton akan memerikan saweran.  Saweran diberikan ketika penonton tersebut meminta sinden untuk menyanyikan sebuah lagu, ketika pertunjukkan wayang thengul itu mayoritas warga memberikan saweran rata-rata senilai 50 ribu rupiah dan itu hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya. 
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan. Akan tetapi ada beberapa dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang sebelumnya atau diperoleh lewat keturunan. Dalam pementasannya seorang dalang memiliki kebebasan untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja. Improvisasi itu bertujuan untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik.  Dalam pertunjukkan seni wayang thengul, wayangnya meiliki karakteristik warna wajah hampir sama dengan wayang kulit, hanya saja wayang thengul dibuat tiga dimensi.   Warna rias wajah pada wayang sebenarnya mempunyai arti simbolis yang berbeda-beda.  Ada warna merah, putih, hitam, merah muda atau disebut dengan warna jambon. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tidak ada ketentuan umum mengenai warna wajah tersebut.  Mengenai posisi peletakan wayang sendiri juga memiliki arti, seperti terlihat dalam gambar, bahwa wayang yang diletakkan pada posisi sebelah kanan dalang adalah tokoh-tokoh yang meiliki karakter yang abik sedang yang berada di kiri dalang memiliki sifat yang buruk. 
  
Dari pertunjukkan wayang ini sebenarnya dapat dipetik berbagai pelajaran mengenai kehidupan manusia di dunia, karena wayang ini memiliki makna dan filosofi tentang kehidupan. Dalam Antropologi di kenal istilah “life cycle” atau proses ontogenesis.  Dinama manusia itu lahir hingga mati.  Kehidupan adalah suatu rentetan berkesinambungan dan yang lewat menyambungkan yang sekarang; dan horizon masa datang menggiring kita ke arahnya. Seperti dalam ceritera pewayangan yang selalu bercerita mengenai pesan – pesan moral. Dalam masyarakat jawa dikenal istilah “sangkan paraning dumadi” yaitu intinya adalah menceritakan suatu proses dimana manusia itu berasal atau proses terjadinya suatu manusia dan manusia itu mulai tumbuh, berkembang hingga manusia itu mati.  Dalam filosofi itu masih banyak makna yang terkandung di dalamnya dimana manusia diajarkan untuk menjaga keseimbangan hubungan baik secara vertikal dan horisontal. Orang jawa mengatakan bahwa manusia hidup itu adalah untuk belajar bagaimana caranya mati yang artinya manusia itu diharapkan berbuat baik terhadap sesama dan Tuhannya agar kelak meninggal dengan sempurna dan meninggalkan amal yang baik.  Namun, temuan penelitian ini menunjukkan adanya indikasi pergeseran yang disebabkan karena penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi mulai dari cara pementasan wayang dulu dengan sekarang serta yang meliputi pergeseran seperti peristiwa pertunjukan, waktu, penonton, konten, dan ruang, dimana perbedaan ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya pergeseran makna ruang dalam suatu pementasan wayang Jawa.