Senin, 06 Agustus 2012

BALIAN

(Ritual Pengobatan Tradisional  masyarakat dayak Siang-Murung)
Etnis dayak merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia khususnya di pulau Kalimantan.  Ada banyak macam etnis dayak tersebar di seluruh wilayah Kalimantan dengan bahasa yang berbeda setiap daerahnya, akan tetapi walaupun berbeda sebenarnya mereka memiliki ikatan batin yang kuat meskipun mereka berada di lokasi yang berbeda.  Suku dayak Siang-Murung adalah salah satu diantara banyak suku dayak yang ada di pulau Kalimantan.  Suku dayak Siang-Murung ini banyak kita jumpai khususnya di desa Dirung Bakung, kabupaten Murung Raya.   Masyarakat dayak Siang Murung Desa Dirung Bakung ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya.  Kurang lebih 60 persen masyarakat desa Dirung Bakung merupakan pemeluk agama suku yaitu agama Kaharingan.  Masyarakat dayak Siang-Murung menyebut Tuhan mereka dengan istilah Ranying Hatalla Langit.  Dalam kepercayaan mereka, Ranying Hatalla Langit  memiliki wakil di bumi yang bertugas menjaga dan memberi ketentraman bagi kehidupan manusia. Orang kepercayaan Ranting Hatalla langit tersebut ialah jata balawang bulau.   
Masyarakat Dayak Siang Murung juga percaya terhadap keberadaan roh baik dan roh jahat dalam kehidupan mereka.  Roh baik dipercaya bisa membantu seseorang khususnya terkait upaya kesehatan sedangkan roh jahat dapat mengganggu kehidupan seseorang, contohnya ketika seseorang sedang sakit.  Dalam budaya dayak Siang Murung bahwa sakit seseorang itu bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu karena sakit medis dan juga sakit yang disebabkan oleh gangguan roh jahat.  Pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat mengenai suatu penyakit dapat mempengaruhi bagaimana tindakan yang dilakukan maupun cara mereka dalam menangani penyakit tersebut dan salah satunya adalah ritual “balian”.
basir atau basi
Ritual balian merupakan ritual pengobatan secara budaya pada masyarakat dayak Siang-Murung yang dipimpin oleh seorang basi atau basir.  Basir atau basi sendiri merupakan orang yang dipercaya memiliki kemampuan yang diperoleh secara turun-temurun dalam upaya penyembuahan suatu penyakit.  Basir atau basi dalam ritual pengobatan ini biasanya adalah basi laki-laki.  Karena dalam masyarakat desa Dirung Bakung dikenal ada dua basi yakni basi bawe atau basi perempuan dan juga basi laki-laki.     Basi laki-laki memiliki kemampuan dan tugas untuk mengobati penyakit sedangkan basi perempuan bertugas memimpin dalam ritual upacara adat kematian atau perkawinan.  Upacara atau ritual balian biasanya dilakukan pada saat malam hari,  dimana pada saat ritual pengobatan tersebut basi akan mengalami kesurupan atau dimasuki roh.  Roh tersebut merupakan roh baik yang dipercaya bisa membantu menyembuhkan suatu penyakit dan roh tersebut biasanya adalah sahabat dari basi tersebut.
Sebelumnya peralatan dan sesaji yang diperlukan dalam ritual balian sudah disiapkan.  Sesaji tersebut diantaranya adalah lemang atau kukusan ketan yang dimasak dalam bambu, kain yang digantung di dinding rumah, hati ayam yang direbus dan ditancapkan pada beberapa lemang, darah ayam, darah babi, berbagai macam bunga, akar-akaran dan dedaunan, arang dari akar-akaran, air, timba, anding atau tuak (minuman beralkohol asli buatan masyarakat setempat), keranjang dari anyaman bambu, ayunan dari rotan yang digantung pada dinding rumah mangkuk dan lilin, beras, sepasang ayam jantan dan betina dan telur.  Selain itu ada alat musik pukul yaitu gendang berjumlah 3 buah.  Sesajen yang dibutuhkan dalam suatu ritual balian itu berbeda-beda tergantung penyakitnya.  Ketika pasien terkena penyakit budaya seperti tenung, santet atau dalam istilah masyarakat dayak Siang-Murung ini terkena “pali”, maka dalam sesajennya harus ada “bale pali”.  .
Bale pali
Sebelum ritual dimulai itu Basi bersiap mengenakan pakaian dan perlengkapannya untuk ritual tersebut, diantaranya ada kain seperti sarung berwarna hitam, sabuk dari kain, ikat kepala, asesoris berupa tali dengan hiasan manik-manik dan juga taring hewan yang diikatkan menyilang di tubuhnya kemudian basi mengenakan gelang dipergelangan tangannnya masing-masing 2 buah gelang besi yang sekaligus sebagai alat musik.  Selain itu basi juga mengoleskan kapur di lengan dan dadanya seperti yang tampak pada gambar di bawah ini.Kemudian basi yang sudah berpakaian ritual lengkap duduk di depan sesaji sambil mengucapkan mantra, tak lama basi mengambil beras dalam piring dan menyebar sedikit beras di sekitar basi atau yang dikenal dengan istilah “nabui”.  Setelah itu istri basi memberikan sepasang ayam yang kemudian dikibaskan diatas kepala pasien.  Setelah itu basi berdiri dan memegang kain seperti selendang yang diikatkan pada dinding rumah sambil basi membaca mantra dengan bahasa sangian, hal tersebut dilakukan untuk berkomunikasi dengan arwah atau roh leluhurnya.  Setelah itu basi meniup seperti peluit kecil yang terbuat dari taring beruang, bersamaan dengan itu alat musik mulai dipukul dengan suara yang sangat keras sehingga timbul suara yang sangat bising.  Musik tersebut terkadang berhenti sejenak dan dimainkan kembali.  Kurang lebih ada 10 kali jeda berhenti dari musik dalam ritual tersebut.  Mantra dengan bahasa sangiang terus diucapkan selama ritual berlangsung. 

Kemudian basi berjalan menuju pintu rumah dan menghadap keluar rumah sambil membaca mantra dan menari dengan mangkok berisi lilin yang diletakkan diatas kepalanya.  Istri basi menyiapkan air mandi dalam timba yang didalamnya terdapat dedaunan, bunga dan akar-akaran untuk memandikan pasien.  Pasien pun duduk didepan pintu kemudian basi memandikan pasien dengan iar yang ada di timba tersebut sambil membaca mantra.  Ketika itu orang dilarang berdiri di luar rumah, karena dipercaya penyakit pasien akan berpindah ke orang yang ada diluar rumah tersebut selain itu juga dilarang melakukan dokumentasi berupa video ataupun foto.  
Setelah itu basi menuju ketempat awal.  Sementara pasien disuruh berbaring didekat basi.  Basi mengambil 2 lemang yang ujungnya ada hati ayam, kemudian dicelupkan ke dalam wadah yang berisi darah ayam dan babi.  Menurut kepercayaan masyarakat itu adalah tanda dimana arwah atau roh nenek moyang sudah mulai merasuki tubuh basi.  Proses memakan lemang tersebut dilakukan berkali-kali.  Setelah itu lampu yang ada di dalam ruangan tersebut mulai dimatikan, itu tandanya basi sudah mulai kerasukan roh yang akan membantu mengobati pasien.  Ketika basi sedang kerasukan tidak boleh ada cahaya sedikitpun dalam ruangan tersebut, semua lampu tempel dimatikan jika ada lampu yang menyala maka basi tersebut akan langsung pingsan dan tidak bisa mengobati pasien.  Proses kesurupan atau kerasukan tersebut terjadi kurang lebih dalam waktu 15 menit.  Ritual balian ini biasanya tidak boleh dilakukan saat ada orang yang meninggal dunia.  Karena dipercaya basi yang dirasuki roh tersebut bisa lari menuju tempat orang yang sedang meninggal tersebut.  Sebagai langkah antispasi digunakan piring putih polos yang kemudian diletakkan di kepala basi saat berada di depan pintu rumah tadi. 

Ketika pasien yang diobati sudah sembuh, maka pasien tersebut akan melakukan ritual “totoh balian”. Ritual ini merupakan acara puncak dari upacara belihan, dimana saat itu disediakan banyak sesaji yang mana sebagai wujud syukur kepada roh yang telah menyembuhkan dan juga sebagai alat untuk menipu roh jahat agar tidak mengganggu lagi, karena sesaji dipercaya sebagai makanan dari roh-roh yang dianggap jahat oleh masyarakat.  setelah selesai pengobatan maka lampu akan dihidupkan kembali dan acara totoh belihan selesai.  Totoh balian biasanya dimulai pada malam hari antara pukul 22.00 wib hingga pukul 02.00 atau pukul 03.00 wib dini hari.  [gull]

baca selengkapnya di ethnoculinerology.com


Kamis, 23 Februari 2012

Candi Tikus, Situs Pentirtaan Majapahit


"Candi Tikus Lebih Rendah dari Permukaan Tanah"

ANTROPODIA - Satu lagi bukti kebesaran dari kerajaan Majapahit.  Candi tikus merupakan salah satu dari beberapa Candi Peninggalan dari Kebudayaan Majapahit.  Candi yang merupakan candi pentirtaan itu pertama kali ditemukan pada tahun 1914 oleh penduduk Trowulan, Kabupaten Mojokerto.  setelah mendapat laporan dari warga setempat, R.A.A Romodjojo Adinegoro sebagai Bupati Mojokerto turun kelokasi penemuan. Berdasarkan beberapa sumber, termasuk didalamnya adala warga sekitar, penemuan tersebut awalnya ditandai dengan munculnya wabah tikus yang mana tikus tersebut bersarang di suatu gundukan tanah. Kemudian bersama-sama masyarakat membongkar gundukan yang diduga sebagai sarang tikus.  ternyata setelah dibongkar, gundukan tersebut didalamnya terdapat sebuah bangunan candi, dari situlah awal mula dinamakannya cadi Tikus.

Lokasi Candi Tikus berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.  Candi tikus disebut sebagao candi pentritaan karena ditengah-tengah bangunan cnadi tersebut terdapat sebuah miniatur bangunan yang melambangkan gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya dewa dan sebagai sumber dari segala sumber kehidupan. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya air yang mengalir dari pancuran atau disebut dengan Jaladwara yang mengalir di kaki-kaki candi dan dipercaya sebagi air suci Amrta dari segala kehidupan.
Layaknnya candi yang selalu lebih tinggi dari permukaan tanah, Candi Tikus ini letaknya justru berada lebih rendah dari permukaan tanah, kurang lebih sedalam 3,5 meter berada dari permukaan tanah.  Candi tikus iniberbentuk persegi atau bujur sangkar dengan ukuran 22,5 x 22,5 meter dengan tinggi hingga puncak candi mencapai 5,20 meter. 
Bahan pembuatan Candi Tikus ini didominasi oleh batu bata, yang mana hal tersebut menunjukkan gambaran lokasi pada masa lampau yang bukan merupakan daerah berbatu.  Selain batu bata terdapat batu andesit yang digunakan sebagi pancuran dari candi tersebut.  Untuk menahan tanah yang ada di sekitar candi, dibuatlah teras.  dalam candi tikus ini terdapat 46 pancuran akan tetapi kini hanya tinggal 19 pancuran yang terletak di dinding bawah dan batur candi.
Bentuk dari pancuran  atau jaladwara tersebut ada yang berupa padma dan makara.  Pada dinding utara bagian bawah candi terdapat bilik yang terletak di kiri dan kanan tangga yang berupa kolam.  Ukuran panjang, lebar dan tinggi kolam tersebut masing-masing, 3,5 meter, 2 meter dan 1,05 meter. Pada pintu masuknya terdapat dinding dengan lebar 1,2 meter.  di dinding utara terdapat masing-masing 3 pancuran yang dulu mendapat pasokan air dari saluran air yang terletak di belakang candi Induk ( ditengah dengan kaki menempel pada teras dinding selatan) atau lebih tepatnya di sebelah selatan candi. Selain itu juga terdapat saluran pembuangan yang terletak di bagian lantai dasar.
Bangunan induk candi terdiri atap, tubuh dan kaki.  Kaki candi berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 7,75 meter, 7,65 meter dan 1,5 meter. Di bagian kaki ini terdapat saluran yang berfungsi memasok air dalam pancuran-pancuran candi dengan lebar 17 cm dan kedalaman 54 cm.  Tubuh candi berbentuk persegi dengan ukuran sisi-sisinya 4,8 x 4,8 meter.  Di bagian atas tubuh candi terdapat 4 buah menara yang berukuarn 0,84 x 0,80 meter  terletak pada tiap sudutnya. menara tertinggi terletak di tengah-tengah dengan ukuran 1 x 1,04 dan tingginya 2,76 meter. 
sementara ada beberapa bagian menara yang hilang sehingga tidak diketahui bagaimana bentuknya.  Menara-menara ini sebagai perlambang Gunung Mahameru sebagai pusat makro kosmos mengingat ketika itu masyarakat masih dalam tahap mitis dalam pemikirannya.  Diamana pemikiran itu berorientasi pada kosmos.  Terlepas dari itu semua, sebagai masyarakat yang hidup di Era ini harus menghargai budaya yang adiluhung ini dan turut Handarbeni.  Itulah yang bisa membuat kita bangga terhadap kekayaan nusantara ini. [Gull]
Read More at ethnoculinerology.com