(Ritual Pengobatan Tradisional masyarakat dayak Siang-Murung)
Etnis dayak merupakan
salah satu etnis yang ada di Indonesia khususnya di pulau Kalimantan. Ada banyak macam etnis dayak tersebar di
seluruh wilayah Kalimantan dengan bahasa yang berbeda setiap daerahnya, akan
tetapi walaupun berbeda sebenarnya mereka memiliki ikatan batin yang kuat meskipun
mereka berada di lokasi yang berbeda. Suku
dayak Siang-Murung adalah salah satu diantara banyak suku dayak yang ada di
pulau Kalimantan. Suku dayak Siang-Murung
ini banyak kita jumpai khususnya di desa Dirung Bakung, kabupaten Murung Raya. Masyarakat
dayak Siang Murung Desa Dirung Bakung ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
budayanya. Kurang lebih 60 persen
masyarakat desa Dirung Bakung merupakan pemeluk agama suku yaitu agama Kaharingan. Masyarakat dayak Siang-Murung menyebut Tuhan
mereka dengan istilah Ranying Hatalla
Langit. Dalam kepercayaan mereka, Ranying Hatalla Langit memiliki wakil di bumi yang bertugas menjaga
dan memberi ketentraman bagi kehidupan manusia. Orang kepercayaan Ranting Hatalla langit tersebut ialah jata balawang bulau.
Masyarakat
Dayak Siang Murung juga percaya terhadap keberadaan roh baik dan roh jahat
dalam kehidupan mereka. Roh baik
dipercaya bisa membantu seseorang khususnya
terkait upaya kesehatan sedangkan roh jahat
dapat mengganggu kehidupan seseorang, contohnya ketika seseorang sedang
sakit. Dalam budaya dayak Siang Murung bahwa sakit seseorang itu bisa disebabkan
oleh dua hal, yaitu karena sakit medis dan juga sakit yang disebabkan oleh
gangguan roh jahat. Pengetahuan,
kepercayaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat mengenai suatu penyakit
dapat mempengaruhi bagaimana tindakan yang dilakukan maupun cara mereka dalam
menangani penyakit tersebut dan salah satunya adalah ritual “balian”.
basir atau basi |
Ritual balian merupakan
ritual pengobatan secara budaya pada masyarakat dayak Siang-Murung yang
dipimpin oleh seorang basi atau basir.
Basir atau basi sendiri merupakan orang yang dipercaya memiliki
kemampuan yang diperoleh secara turun-temurun dalam upaya penyembuahan suatu penyakit. Basir atau basi dalam ritual pengobatan ini
biasanya adalah basi laki-laki. Karena
dalam masyarakat desa Dirung Bakung dikenal ada dua basi yakni basi bawe atau basi perempuan dan juga
basi laki-laki. Basi laki-laki memiliki kemampuan dan tugas
untuk mengobati penyakit sedangkan
basi perempuan bertugas memimpin dalam ritual upacara adat kematian atau perkawinan. Upacara atau ritual balian biasanya dilakukan
pada saat malam hari, dimana pada saat
ritual pengobatan tersebut basi akan mengalami kesurupan atau dimasuki
roh. Roh tersebut merupakan roh baik
yang dipercaya bisa membantu menyembuhkan suatu penyakit dan roh tersebut
biasanya adalah sahabat dari basi tersebut.
Sebelumnya
peralatan dan sesaji yang diperlukan dalam ritual balian sudah disiapkan.
Sesaji tersebut diantaranya adalah lemang
atau kukusan ketan yang dimasak dalam bambu, kain yang digantung di dinding
rumah, hati ayam yang direbus dan ditancapkan pada beberapa lemang, darah ayam,
darah babi, berbagai macam bunga, akar-akaran dan dedaunan, arang dari
akar-akaran, air, timba, anding atau tuak (minuman beralkohol asli buatan
masyarakat setempat), keranjang dari anyaman bambu, ayunan dari rotan yang
digantung pada dinding rumah mangkuk dan lilin, beras, sepasang ayam jantan dan
betina dan telur. Selain itu ada alat
musik pukul yaitu gendang berjumlah 3 buah.
Sesajen yang dibutuhkan dalam suatu ritual balian itu berbeda-beda tergantung penyakitnya. Ketika pasien terkena penyakit budaya seperti tenung, santet atau dalam istilah
masyarakat dayak Siang-Murung ini terkena “pali”,
maka dalam sesajennya harus ada “bale
pali”. .
Bale pali |
Sebelum
ritual dimulai itu Basi bersiap mengenakan pakaian dan perlengkapannya untuk
ritual tersebut, diantaranya ada kain seperti sarung berwarna hitam, sabuk dari
kain, ikat kepala, asesoris berupa tali dengan hiasan manik-manik dan juga
taring hewan yang diikatkan menyilang di tubuhnya kemudian basi mengenakan
gelang dipergelangan tangannnya masing-masing 2 buah gelang besi yang sekaligus
sebagai alat musik. Selain itu basi juga
mengoleskan kapur di lengan dan dadanya seperti yang tampak pada gambar di
bawah ini.Kemudian
basi yang sudah berpakaian ritual lengkap duduk di depan sesaji sambil
mengucapkan mantra, tak lama basi mengambil beras dalam piring dan menyebar
sedikit beras di sekitar basi atau yang dikenal dengan istilah “nabui”.
Setelah itu istri basi memberikan sepasang ayam yang kemudian dikibaskan
diatas kepala pasien. Setelah itu basi
berdiri dan memegang kain seperti selendang yang diikatkan pada dinding rumah
sambil basi membaca mantra dengan bahasa sangian,
hal tersebut dilakukan untuk berkomunikasi dengan arwah atau roh
leluhurnya. Setelah itu basi meniup
seperti peluit kecil yang terbuat dari taring beruang, bersamaan dengan itu
alat musik mulai dipukul dengan suara yang sangat keras sehingga timbul suara
yang sangat bising. Musik tersebut
terkadang berhenti sejenak dan dimainkan kembali. Kurang lebih ada 10 kali jeda berhenti dari
musik dalam ritual tersebut. Mantra dengan
bahasa sangiang terus diucapkan
selama ritual berlangsung.
Kemudian
basi berjalan menuju pintu rumah dan menghadap keluar rumah sambil membaca
mantra dan menari dengan mangkok berisi lilin yang diletakkan diatas
kepalanya. Istri basi menyiapkan air
mandi dalam timba yang didalamnya terdapat dedaunan, bunga dan akar-akaran
untuk memandikan pasien. Pasien pun
duduk didepan pintu kemudian basi memandikan pasien dengan iar yang ada di
timba tersebut sambil membaca mantra.
Ketika itu orang dilarang berdiri di luar rumah, karena dipercaya
penyakit pasien akan berpindah ke orang yang ada diluar rumah tersebut selain
itu juga dilarang melakukan dokumentasi berupa video ataupun foto.
Setelah
itu basi menuju ketempat awal. Sementara
pasien disuruh berbaring didekat basi.
Basi mengambil 2 lemang yang ujungnya ada hati ayam, kemudian dicelupkan
ke dalam wadah yang berisi darah ayam dan babi.
Menurut kepercayaan masyarakat itu adalah tanda dimana arwah atau roh
nenek moyang sudah mulai merasuki tubuh basi.
Proses memakan lemang tersebut dilakukan berkali-kali. Setelah itu lampu yang ada di dalam ruangan
tersebut mulai dimatikan, itu tandanya basi sudah mulai kerasukan roh yang akan membantu mengobati pasien. Ketika basi sedang kerasukan tidak boleh ada
cahaya sedikitpun dalam ruangan tersebut, semua lampu tempel dimatikan jika ada
lampu yang menyala maka basi tersebut akan langsung pingsan dan tidak bisa
mengobati pasien. Proses kesurupan atau
kerasukan tersebut terjadi kurang lebih dalam waktu 15 menit. Ritual balian
ini biasanya tidak boleh dilakukan saat ada orang yang meninggal dunia. Karena dipercaya basi yang dirasuki roh
tersebut bisa lari menuju tempat orang yang sedang meninggal tersebut. Sebagai langkah antispasi digunakan piring
putih polos yang kemudian diletakkan di kepala basi saat berada di depan pintu
rumah tadi.
Ketika
pasien yang diobati sudah sembuh, maka pasien tersebut akan melakukan ritual “totoh balian”. Ritual ini merupakan
acara puncak dari upacara belihan, dimana saat itu disediakan banyak sesaji
yang mana sebagai wujud syukur kepada roh yang telah menyembuhkan dan juga
sebagai alat untuk menipu roh jahat agar tidak mengganggu lagi, karena sesaji
dipercaya sebagai makanan dari roh-roh yang dianggap jahat oleh
masyarakat. setelah selesai pengobatan
maka lampu akan dihidupkan kembali dan acara totoh belihan selesai. Totoh balian
biasanya dimulai pada malam hari antara pukul 22.00 wib hingga pukul 02.00 atau
pukul 03.00 wib dini hari. [gull]