MACAPATAN DAN PENCAK MACAN DALAM PITUTUR SERAT SINDUJOYO
PENCAK MACAN
Bagi sebagian masyarakat di Gresik pencak macan dan macapatan tentu bukanlah suatu yang asing untuk didengar. Akan tetapi keduanya kini mulai terpinggirkan karena kemajuan zaman. Tradisi pencak macan merupakan sebuah tradisi pengiring pengatin dengan berjalan kaki yang dimulai dari rumah pengatin laki-laki. Pengatin laki-laki yang telah dirias dan keluar rumah akan disambut dengan hadrah dan salawat kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan kesenian tradisional tabuhan seperti pencak silat. Secara filosofis kesenian pencak macan ini memiliki arti untuk mengingatkan kepada manusia khusunya pasangan pengantin mengenai lika-liku kehidupan dalam menjalani bahrtera rumah tangganya.
Dalam kesenian pencak macan ini diperankan beberapa tokoh seperti macan, monyet, ulama dan juga genderuwo yang masing-masing adalah sebagai simbol yang memiliki makna sendiri. Tokoh macan dalam pencak macan ini adalah sebagi simbol seorang laki-laki yang memiliki watak keras dengan tanggung jawab tinggi dan juga perkasa. Dalam kehidupan nyata monyet adalah hewan yang memiliki sifat yang lincah, disini monyet melambangkan seorang wanita yang lincah, rajin dalam urusan rumah tangaa akan tetapi memiliki sifat yang suka berbuat aneh-aneh. Sisi baik diperankan oleh tokoh ulama, seni hadrah dan salawat.
Tokoh ulama, seni hadrah, dan salawat sendiri sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagi penyeimbang, karena dalam rumah tangga tidak dipungkiri sering terjadi perselisihan dan berakibat pada pertengkaran. Pertengkaran ini dalam pencak macan digambarkan ketika terjadi perkelahian antara macan dan monyet. Banyak pemicu pertengkaran dalam rumah tangga salah satunya adalah bisikan dan tipu daya setan yang diperankan oleh tokoh genderuwo. Tokoh genderuwo adalah sisi buruknya yang melambangkan kemurkaan dan hawa nafsu.
Ada hal yang tak terlupakan dalam pencak macan yakni hiasan untuk menambah sakral acara ini, diantaranya adalah ketopang atau biasa disebut dengan kembang mayang, obor, pembaca salawat dan juga payung pontang lima yang dibawa oleh lima orang gadis berparas cantik. Payung pontang lima sendiri terbuat dari daun pisang dengan hiasan janur berisi ketan warna-warni dengan kerucut ditengahnya dan diberi kapas pada ujungnya. Itu semua sebagai simbol rukun islam dan simbol keanekaragaman golongan dalam islam akan tetapi memiliki satu tujuan.
MACAPAT.
Macapatan merupakan salah satu kesenian pengiring dalam arak-arakan pengantin pada masyarakat pesisir di Kelurahan Lumpur dan Kroman yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Mbah Sindujoyo adalah orang yang pertama kali mengenalkan kesenian ini dan sekaligus melestarikannya. Semuanya terdapat dalam Serat Sindujoyo. Dalam Serat Sindujoyo banyak mengajarkan tentang kebaikan salah satunya adalah mengenai Pitutur yang ditulis dengan huruf Arab gundul yang disertai dengan banyak gambar ilustrasi. Semua itu dikemas dalam bentuk tembang Macapatan.
Dengan semakin majunya jaman dan perkembangan teknologi yang semakin memanjakan umat manusia, kini kesenian ini sudah mulai tergilas oleh modernisasi. Hampir tidak ada generasi muda yang mau belajar mengenai hal ini. Sangat disayangkan jika budaya adiluhung yang pernah ada ini hilang begitu saja. Seperti kata pepatah “hidup segan, mati tak mau” begitulah nasib dari kesenian ini. Kalua bukan pada generasi muda saat ini kepada siapa lagi budaya luhur ini akan diwariskan. Jangan sampai budaya leluhur yang memiliki banyak pesan tersirat dalam filosofi ini lenyap oleh zaman. Diperlukan sifat Handarbeni untuk melestarikannya. Ini adalah salah satu contoh kecil dari kebesaran budaya Indonesia yang sudah mulai terlupakan.