SAMIN JEPANG (BAG 1)
ANTROPODIA-Samin merupakan sebuah komunitas yang sering diperbincangkan karena keunikan dari cara hidupnya. Hingga saat ini pandangan orang jika mendengar kata samin akan mengarah pada sesuatu yang negatif. label yang melekat pada komunitas ini adalah komunitas yang primitif, udik, terasing dan bahkan ada yang menyebut sebagai wong gendeng (orang gila) karena memiliki hidup yang "nyeleneh" karena dianggap tidak biasa bagi sebagian banyak orang. Berbicara mengenai Samin, tidak sedikit orang yang menyebut Samin adalah sebuah suku atau etnis. Padahal Samin merupakan suatu bentuk sub-culture dari suku Jawa. Berdasarkan definisi Ensiklopedia Indonesia, yang dimaksud suku bangsa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya, dimana anggotanya memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-isitiadat dan tradisi. Sedangkan pengertian komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana didalamnya terjadi hubungan pribadi yang erat antar anggota komunitas tersebut. Dalam sebuah komunitas kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosial merupakan kekuatan pengikat yang utama dan didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Merujuk dari kedua definisi tersebut bisa dikatakan bahwa masyarakat Samin lebih tepat digolongkan atau disebut komunitas daripada suku.
Keberadaan komunitas ini berawal pada zaman kolonial. Komunitas Samin merupakan komunitas yang terlahir dari kaum-kaum yang menolak pemerintahan Belanda. Penganut Samin pada saat itu dianggap pembangkang oleh Belanda karena tidak mau membayar pajak, menolak segala bentuk program pembangunan yang diberikan oleh Pemerintah dan tidak mau mengikuti aturan hukum yang berlaku. Komunitas Samin memiliki nilai, norma serta prinsip yang berbeda dari masyarakat kebanyakan, yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupannya seperti dalam pengelolaan lingkungan, mata pencaharian, pendidikan, pernikahan dan aspek lainnya. Tempat tinggal mereka pun cenderung berkumpul dan terasing dari komunitas masyarakat lainnya yang tersebar di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sosialisasi nilai dan norma komunitas ini terus dilakukan secara kontinu, sehingga ajaran dan tradisinya masih melekat sampai tahun 2014 ini.
Pada mulanya Samin sendiri merupakan nama salah seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, sebelah utara Randublatung Kabupaten Blora. Samin Surosentiko masih mempunyai hubungan darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih memiliki hubungan kerabat dengan Pengeran Kusumoningayu atau kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu yang merupakan adipati Brotodiningrat yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto, kini menjadi Kabupaten Tulungagung, pada tahun 1802-1826.
Ayah Samin Surosentiko bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar yang kemudian dirubah menjadi Samin, dimana nama tersebut dipilih karena dianggap memiliki nafas kerakyatan. Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora pada tahun 1890. Ketika itu ajaran Samin oleh Samin Surosentiko mendapatkan apresiasi yang bagus dari masayarakat, sehingga dalam waktu singkat banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.
Laporan dari Residen Rembang pada tahun 1903 menyatakan sejumlah 722 pengikut Samin yang tersebar di 34 sesa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Penyebaran ajaran Samin tersebut terus dilakukan dengan giat, sehingga pada tahun 1907 pengikut ajaran Samin berjumlah lebih dari 3.000 orang (Titi,dkk.,2004:23). Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian menyusul Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, dan beliau meninggal dengan status sebagaai tahanan pada tahun 1914 .
Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sinilah orang-orang desa dipengaruhi untuk tidak membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial. Penyebaran ajaran Samin terus gencar dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Surohidin, seorang menantu Samin Surosentiko dan juga Engkrak salah satu pengikutnya yang menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan pada tahun 1911, selain itu juga ada Karsiyah yang menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Perlawanan Komunitas Samin kepada Pemerintah Kolonial Belanda terus dilakukan di beberapa daerah karena menaikkan pajak, seperti di Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah yang tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat agar tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Begitu juga di Desa Tapelan, Bojonegoro perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda tak terelakkan, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Pada akhirnya tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.
Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya jaman, tentunya juga berdampak pada perubahan sosial masyarakat khususnya pada komunitas Samin ini. Walaupun Samin yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu, artinya Komunitas ini sekarang semakin modern seperti masyarakat pada umumnya. Akan tetapi ada beberapa hal yang masih dilekatkan pada komunitas ini. Sebagai contoh ada hal yang dulunya dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Misalnya kebiasaan membangkang, tak mau bayar pajak, atau enggan ikut ronda. Padahal, menurut Mbah Harjo Kardi yang merupakan sesepuh komunitas Samin di Dusun Jepang, pengabaian pembayaran pajak waktu itu merupakan cara yang digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Adanya perbedaan penafsiran tersebut hingga saat ini masih sering terdengar dan perilaku yang dianggap tidak sejalan dengan orang lain oleh orang yang notabene non-Samin yang menunjukkan perilaku buruk, orang biasa menyebut dengan istilah "nyamin" atau berperilaku seperti orang Samin. Hal tersebut terkadang ada yang membuat sebagian orang Samin asli enggan menyebut dirinya Samin, mereka menyebutnya Wong Sikep, yaitu orang yang memegang teguh ajaran yang diturunkan secara turun-temurun. Beberapa ajaran yang hingga saat ini masih diugemi atau dilestarikan adalah Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, bedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, bertengkar, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Selain itu ada yang berbunyi Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu. Arti kalimat tersebut adalah, kita harus menjaga mulut dari kata yang tidak baik atau yang membuat orang sakit hati. Berikutnya berbunyi Sabar lan trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni. Maksudnya adalah orang Samin harus ingat pada kesabaran, "bagaikan orang mati dalam hidup". Selanjutnya ada yang berbunyi Wong urip kudu ngerti uripe, sebab urip siji digowo selawase, maksudnya manusia hidup itu harus memahami kehidupannya, karena hidup itu sama dengan roh yang hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
Ajaran tersebut tetap dijalankan oleh komunitas Samin terlebih dalam mendidik anak-anaknya, yang selalu menekankan untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Selain itu terdapat beberapa ajaran lain seperti kesederhanaan, kejujuran dan kerja keras dengan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin hingga saat ini. Walaupun jika hal ini dirunut ke belakang, akan menemui kesulitan bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu bisa berubah menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini.
Zaman telah berubah, kolonialisme sudah berakhir tetapi nilai luhur masih dipertahankan dan dilestarikan oleh sebagian Wong Sikep atau Samin. Komunitas Samin menganggap tabiat merupakan hal yang sangat penting. Siapapun orangnya, baik itu seorang ulama, priyayi atau orang beragama apabila memiliki tabiat yang tidak baik maka tidak baik atau buruk juga pekertinya. Orang Samin meyakini apa yang disebut dengan hukum karma atau hukum alam, yang mana hukum tersebut diyakini tidak akan memberikan pembuktian yang sebaliknnya.
“Nandur pari, thukul pari, ngunduh pari”
“Becik ketitik ala ketara”
(“Menanam padi, tumbuhnya juga padi”
“yang baik akan terlihat, yang burukpun akan tampak”.)
Keberadaan komunitas ini berawal pada zaman kolonial. Komunitas Samin merupakan komunitas yang terlahir dari kaum-kaum yang menolak pemerintahan Belanda. Penganut Samin pada saat itu dianggap pembangkang oleh Belanda karena tidak mau membayar pajak, menolak segala bentuk program pembangunan yang diberikan oleh Pemerintah dan tidak mau mengikuti aturan hukum yang berlaku. Komunitas Samin memiliki nilai, norma serta prinsip yang berbeda dari masyarakat kebanyakan, yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupannya seperti dalam pengelolaan lingkungan, mata pencaharian, pendidikan, pernikahan dan aspek lainnya. Tempat tinggal mereka pun cenderung berkumpul dan terasing dari komunitas masyarakat lainnya yang tersebar di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sosialisasi nilai dan norma komunitas ini terus dilakukan secara kontinu, sehingga ajaran dan tradisinya masih melekat sampai tahun 2014 ini.
Pada mulanya Samin sendiri merupakan nama salah seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, sebelah utara Randublatung Kabupaten Blora. Samin Surosentiko masih mempunyai hubungan darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih memiliki hubungan kerabat dengan Pengeran Kusumoningayu atau kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu yang merupakan adipati Brotodiningrat yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto, kini menjadi Kabupaten Tulungagung, pada tahun 1802-1826.
Ayah Samin Surosentiko bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar yang kemudian dirubah menjadi Samin, dimana nama tersebut dipilih karena dianggap memiliki nafas kerakyatan. Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora pada tahun 1890. Ketika itu ajaran Samin oleh Samin Surosentiko mendapatkan apresiasi yang bagus dari masayarakat, sehingga dalam waktu singkat banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.
Laporan dari Residen Rembang pada tahun 1903 menyatakan sejumlah 722 pengikut Samin yang tersebar di 34 sesa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Penyebaran ajaran Samin tersebut terus dilakukan dengan giat, sehingga pada tahun 1907 pengikut ajaran Samin berjumlah lebih dari 3.000 orang (Titi,dkk.,2004:23). Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian menyusul Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, dan beliau meninggal dengan status sebagaai tahanan pada tahun 1914 .
Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sinilah orang-orang desa dipengaruhi untuk tidak membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial. Penyebaran ajaran Samin terus gencar dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Surohidin, seorang menantu Samin Surosentiko dan juga Engkrak salah satu pengikutnya yang menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan pada tahun 1911, selain itu juga ada Karsiyah yang menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Perlawanan Komunitas Samin kepada Pemerintah Kolonial Belanda terus dilakukan di beberapa daerah karena menaikkan pajak, seperti di Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah yang tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat agar tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Begitu juga di Desa Tapelan, Bojonegoro perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda tak terelakkan, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Pada akhirnya tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.
Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya jaman, tentunya juga berdampak pada perubahan sosial masyarakat khususnya pada komunitas Samin ini. Walaupun Samin yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu, artinya Komunitas ini sekarang semakin modern seperti masyarakat pada umumnya. Akan tetapi ada beberapa hal yang masih dilekatkan pada komunitas ini. Sebagai contoh ada hal yang dulunya dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Misalnya kebiasaan membangkang, tak mau bayar pajak, atau enggan ikut ronda. Padahal, menurut Mbah Harjo Kardi yang merupakan sesepuh komunitas Samin di Dusun Jepang, pengabaian pembayaran pajak waktu itu merupakan cara yang digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Adanya perbedaan penafsiran tersebut hingga saat ini masih sering terdengar dan perilaku yang dianggap tidak sejalan dengan orang lain oleh orang yang notabene non-Samin yang menunjukkan perilaku buruk, orang biasa menyebut dengan istilah "nyamin" atau berperilaku seperti orang Samin. Hal tersebut terkadang ada yang membuat sebagian orang Samin asli enggan menyebut dirinya Samin, mereka menyebutnya Wong Sikep, yaitu orang yang memegang teguh ajaran yang diturunkan secara turun-temurun. Beberapa ajaran yang hingga saat ini masih diugemi atau dilestarikan adalah Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, bedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, bertengkar, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Selain itu ada yang berbunyi Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu. Arti kalimat tersebut adalah, kita harus menjaga mulut dari kata yang tidak baik atau yang membuat orang sakit hati. Berikutnya berbunyi Sabar lan trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni. Maksudnya adalah orang Samin harus ingat pada kesabaran, "bagaikan orang mati dalam hidup". Selanjutnya ada yang berbunyi Wong urip kudu ngerti uripe, sebab urip siji digowo selawase, maksudnya manusia hidup itu harus memahami kehidupannya, karena hidup itu sama dengan roh yang hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
Ajaran tersebut tetap dijalankan oleh komunitas Samin terlebih dalam mendidik anak-anaknya, yang selalu menekankan untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Selain itu terdapat beberapa ajaran lain seperti kesederhanaan, kejujuran dan kerja keras dengan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin hingga saat ini. Walaupun jika hal ini dirunut ke belakang, akan menemui kesulitan bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu bisa berubah menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini.
Zaman telah berubah, kolonialisme sudah berakhir tetapi nilai luhur masih dipertahankan dan dilestarikan oleh sebagian Wong Sikep atau Samin. Komunitas Samin menganggap tabiat merupakan hal yang sangat penting. Siapapun orangnya, baik itu seorang ulama, priyayi atau orang beragama apabila memiliki tabiat yang tidak baik maka tidak baik atau buruk juga pekertinya. Orang Samin meyakini apa yang disebut dengan hukum karma atau hukum alam, yang mana hukum tersebut diyakini tidak akan memberikan pembuktian yang sebaliknnya.
“Nandur pari, thukul pari, ngunduh pari”
“Becik ketitik ala ketara”
(“Menanam padi, tumbuhnya juga padi”
“yang baik akan terlihat, yang burukpun akan tampak”.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar