Malam Tirakatan Jum’at Legi di Gua Bunda Maria
Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada
wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri,
atau 5 km arah barat dari terminal baru kediri. Jika sudah sampai di perempatan alun- alun kota Kediri
lalu selanjutnya menuju ke arah barat, jurusan terminal bus ”Tamanan”, atau
jurusan ke kecamatan Semen. Sesampainya di terminal, sekitar 5 kilometer ke
barat. Selain itu, dapat juga mengikuti petunjuk ke lokasi yang telah terpasang
di setiap perempatan hingga ke lokasi.Untuk datang ke lokasi dapat di tempuh
dengan menggunakan segala macam kendaraan.
Sejarah Gua Maria
Konon komplek wisata rohani ini
sengaja dibangun menyerupai komplek gua Maria di Lourdes, Prancis. Pembangunan
komplek Gua Maria Puhsarang memang dibuat berdasarkan foto-foto lokasi Gua
Maria Lourdes yang asli dari Prancis, dengan tujuan agar kita di Indonesia tak
perlu jauh-jauh ke Eropa untuk menikmati wisata rohani semacam ini. Cukup ke
Kediri di Jawa Timur. Gua Maria Lourdes di Puh Sarang ini sekarang yang menjadi
fokus atau titik perhatian utama dari para peziarah. Dulu sebelum ada gua Lourdes, titik perhatian
utama adalah Gereja yang Antik. Namun untuk umat katolik, yang sering berziarah
ke tempat ziarah untuk Bunda Maria. Gereja Katolik di Puh Sarang didirikan oleh
Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri
pada walctu itu, Pastor H. Wolters, CM. Insinyur tersebut juga menangani
pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah
Kerajaan Majapahit. Bangunan gereja Puh Sarang mirip dengan bangunan museum
Trowulan, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan
bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala. Pastor Wolters, CM, minta agar
sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Puh
Sarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.
Peletakan batu pertama gereja tersebut dilakukan
pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh
Mgr. Th. de Backere, CM, Prefektur Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam
gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian
Pendapa.
Gereja di Puh Sarang mirip dengan perahu yang
menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini
melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat di mana dulu perahu nabi Nuh
terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa
(Kej 8:4), sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau
melambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nuh dan
keluarganya yang percaya pada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.
Pembangunan atau Penemuan Gereja Poh-sarang
Puh
Sarang adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Semen, terletak
di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Pohon Kepuh, tampaknya merupakan
asal nama ini. Posisinya berada di lereng timur Gunung Klotok, Kompleks
Pegunungan Wilis, berupa kawasan berkontur, berudara dingin, dan batu menjadi
kekayaan desa ini. Sungai Kadek yang melewati Puh Sarang dipenuhi batu,
sehingga batu kemudian menjadi mata pencaharian kedua, selain sawah.. Gereja
Puh Sarang menarik karena fisik bangunan gerejanya. Arsitekturnya sengaja
dibikin setengah mirip dengan candi-candi Jawa Hindu di Jatim dan Jateng kuno.
Keunikan itu tampaknya muncul disebabkan oleh pilihan metode dakwah pendirinya,
Pastor Wolters CM, dibantu seorang antropolog arsitektur Ir Henricus Maclaine
Pont. Melalui gereja tersebut
berusaha melakukan inkulturasi, proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap
untuk memahamkan ajaran gereja komunitas lokalnya. Puh Sarang didirikan sebagai
gereja inkulturasi dengan pendasaran pada filsafat Hindu-Jawa. Keuskupan
Surabaya juga merestui pembangunan Gua Bunda Maria Lourdes yang megah lengkap
dengan plaza tempat permenungan yang bisa menampung ribuan orang. Di situ pun
dibangun replika jalan salib Golgota, pondok-pondok Rosario yang nantinya akan
diresmikan pada Upacara besar Pembukaan Jubileum Agung tahun 2000 itu tadi.
Tidak heran jika Puh Sarang kini berkembang menjadi daerah tujuan wisata baru.
Tanah-tanah sekitar lokasi Puh Sarang kini harganya melonjak karena datangnya
pembeli tanah dari Jakarta, yang merencakan hendak membangun penginapan-penginapan.
Tirakatan malam jum’at legi
Saat Jumat Legi, jalan
desa dipenuhi kendaraan peziarah dari luar kota. Sekitar 3.000-an orang umat
Katolik datang ke gereja Puh Sasarang, berziarah, berdoa di depan Gua Bunda
Maria Lourdes. Puh sarang banyak dikunjungi umat Katolik terutama pada hari
Kamis Kliwon malam jumat Legi (dalam kalender Jawa). Bahkan ada yang sudah
berkumpul sejak Kamis Kliwon sore untuk menghindari kemacetan di sepanjang
jalan menuju Gua Maria Lourdes. Hal ini dilakukan agar tepat pukul 24.00 WIB
para peziarah dapat mengikuti Doa Rosario yang dilanjutkan dengan perarakan
menuju ke Gua Maria Lourdes dan Misa Tirakatan berbahasa Indonesia diiringi
musik tradisional. Misa Tirakatan Malam Jumat Legi ini selesai menjelang pagi,
yaitu pukul 02.00 WIB. Dari semenjak 11 oktober 1999 diadakan suatu usaha baru untuk mengundang para peziarah dengan
mengadakan misa pada malam Jumat Legi. Dalam praktek secara konkret misa ini
diadakan pada Kamis Malam menjelang Jumat, sebab dalam perhitungan kalender
Jawa hari Kamis Kliwon sejak matahari terbenam sudah masuk atau dianggap
sebagai hari Jumat Legi.
Bagi mereka para penziarah yang kurang memahami kalender
Jawa, dalam Kalender Jawa hari itu dibagi menjadi lima: Paing, Pon, Wage,
Kliwon, Legi. Dan tigapuluh
hari sekali akan jatuh pada hari yang sama, sehingga tiap 35 hari sekali akan
ada hari Jumat Legi. Menurut keyakinan orang-orang yang masih menganut paham
Kejawen di Jawa Timur ini malam Jumat Legi merupakan hari yang baik, hari yang baik dalam melakukan persembahyangan atau ritual
keagamaan. Maka pada hari jumat legi itu banyak orang yang mengadakan "tirakatan"
atau mengadakan doa dan semedi pada malam hari untuk memohon atau berdoa kepada
Yang Maha kuasa. Sedangkan pada daerah lain justru malam Jumat Kliwon itu hari yang baik. Ketika umat katolik mengakulturasi tirakatan dengan hari
baik pada tanggalan jawa yaitu malam Jumat Legi di Puh Sarang, dan pada saat itu tirakatan masih dilakukan di Gedung Serbaguna ternyata banyak yang para pengunjung yang datang terutama masyarakat
jawa yang memeluk agama katolik.
Tirakatan ini yang kini dilakukan
menurut penagggalan jawa ini dimulai pada pukul 00.00, yang dilakukan pertama
dalam acara itu yaitu berdoa rosario dan Litani Bunda Maria kemudian
merayakan misa malam hari. Misa ini diiringi dengan gamelan dan lagu-lagu Jawa
sehingga menambah kekhidmatan
(menggunakan gamelan dikarenakan akulturasi alat musik yang biasanya
menggunakan gitar, gamelan ini sebagai simbol bahwasannya penduduk jawa lebih
khidamat untuk mendengar alunan musik tersebut). Disini kita dapat
mendeskripsikan acara misa tirakatan malam Jumat Legi tersebut. Jika ditinjau dari kacamata iman katolik Atau bila
dilihat dari sisi antropologi agama yang tergantung dari apa yang dilakukan dan
isi dari tirakatan itu. Kita dapat melihat acara upacara ritual pada daerah lain yang disucikan dengan
menggunakan kemenyan, berdoa kepada para makhluk halus atau lelembut dan melakukan tindakan asusila seperti yang terjadi di Gunung Kemukus (Jawa Tengah) jelas itu
tidak sesuai dengan ajaran umat
beragama yang lain dan sudah menjadi bagian dari budaya kejawen bagi masyarakat
jawa maupun suatu keperceyaan masyarakat diluar jawa, yang mana dengan cara
tersebut mereka yang melakukannya akan mudah mendatangkan rezeki. Akantetapi berbeda dengan orang yang berdoa dan mengadakan misa pada malam Jumat Legi, sejauh orang tidak mengkaitkan apa yang diinginkannya
terkabulnya doanya dengan
malam Jumat Legi itu sendiri, tapi hanya memilih Jumat Legi sebagai memudahkan
ingatan dan membantu suasana maka tidak bertentangan dengan iman katolik.
Dalam gereja
terdapat usaha-usaha yang dinamakan inkulturasi di mana kita mencoba mengambil
alih tradisi atau budaya umat yang baik dipergunakan sebagai ungkapan iman
katolik. Kita mengambil contoh misalnya kebiasaan mendoakan arwah umat pada
hari ke 40, 100, 1000 hari itu adalah tradisi dari nenek moyang yang
dikristenkan. Dalam hal ini
kita dapat berpandangan tetang mengapakah mesti berdoa pada tengah malam?
Suasana keheningan tengah malam bisa membantu orang untuk lebih berkonsentrasi
dalam doa, membantu orang mendapatkan keheningan hatinya.
Dalam melakukan malam tirakatan juga di
sertai dengan pembacaan Doa Novena Kepada
Santa Maria di Lourdes (ini didoakan bersama setiap Novena doa Jumat Legi
di Puh Sarang) Santa Perawan Maria yang suci dan tak ternoda, Bunda belas
kasih, Penyembuh orang-orang sakit. Pelindung para pendosa, Penghibur orang
yang berduka. Engkau mengetahui kehutuhan-kehutuhan kami, kesusahan kami,
penderitaan kami. Pandanglah kami dengan helas kasihmu. Ketika engkau
menampakkan diri di Gums Lourdes, engkau menjadikan tempat itu sebagai tempat
kudus yang khusus, di mana engkaiu membagi-bagikan anugerah-anugerahmu. Banyak
penderita memperoleh kesemhuhan. dari penyakit mereka, baik yang jasmani maupun
yang rohani. Oleh karma itu kami datang ruang hadapmu, dengan penuh keyakinan,
untuk mohon perantaraanmu sebagai seorang ibu. Bunda kami yang terkasih,
kabulkan1ah permintaan kami. Kami akan mencoba meneladani keutamaan-keutamaanmu,
agar suatu hari kami dapat ikut bersamamu dan bahagia abadi di sorga bersama
engkau dan Puteramu. Tuhan
kami Yesus Kristus, untuk selama-lamanya. Amin.Tiga (3x) SALAM MARIA. Dari kata-kata diatas
tadi adalah secuplik bacaan doa-doa dalam melakukan peribadatan baik dalam
melakukan pada saat jum’at legi atau pada saat beribadah biasanya.
Hubungan
antar umat beragama
Dalam pelaksanaan upcara itu adanya sifat kebersamaan dan toleransi
sesama agama, baik dari aspek sejak perlaksanaan persiapan sampai pelaksanaannya;
mereka saling bekerja sama dengan sesama umatnya atau simpatisan agama lain,
sehingga dapat dilihat dari struktur keseimbangan dalam hidup bermasyarakat.
Masyarakat setempat atau umat simpatisan agama lain
tertarik dengan perayaan atau upacara itu karena merasa ikut memiliki adanya
proses pemberdayaan atau inkulturasi budaya jawa. Dalam upacara yang bersifat khusus
itu,telah menjadi ajang keramain desa, yang mana yang hadir tidak hanya umat
setempat dan ada pula tidak hanya umat katolik saja, tetapi datang dari
berbagai daerah serta umat simpatisan agama lain.upacara atau perayaan malam
tirakatan yang dilaksanakan pada setiap malam jum’at legi, mempunyai suatu
alasan tersendiri dalam memilih hari tersebut karena ada yang menganggap bahwa
hari yang baik dan banyak mengandung nilai keberkahan, disamping itu juga
tempat itu juga digunakan menjadi obyek wisata ziarah, terutama dalam rangka
pelestarian cagar budaya. Dalam kepercayaan keagamaan di daerah itu adalah
mengenai bentuk kemasyarakatan dan ritual agama sebenarnya merupakan suatu
perayaan yang berhubungan erat dengan masyarakat desa dan para pelaku ritual
dan juga para penziarah. Maksud ritual itu sendiri adalah dapat pula
diinterpretasikan sebagai suatu kontrol sosial, seperti ahli antropologi mengatakan
bahwa cara ritual agama pada dasarnya bermaksud untuk memperkuat tradisi ikatan
sosial diantara sesama individu (Favazza, 1998: 211).
Ritual yang penuh dengan simbolisme itu tidak
hanya relatif sebagai alat yanng efektif untuk menghimpun umat komunitas,
tetapi juga memantapkan solidaritas dan koherensi kelompok atau dalam penanaman
sifat kebersamaan. Semua umat yanng hadir menyadari ataupun merasakan suatu
keikutsertaan, kebersamaan, kesempatan mengadakan kontak sosial yang biasanya
cukup langka menjadi berubah menyegarkan atau memperbarui rasa solidaritas.
Suatu upacara atau perayaan yang bersifat ritual itu terutama untuk memahami
sesuatu yang telah diperankan oleh agama dalam kehidupan masyarakat. Agama yang
pada hakikatnya bersinggungan dengan titik kritis manusia yang ditandai dengan
sifat khusus inilah yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, yang dalam arti
mempunyai suatu hal pengalaman ”yang suci”. Sentuhan estetis dalam kesadaran keagamaan
(relegiusitas) termasuk upacara ritual dapat tampak dalam tiga bentuk, yaitu
upacara korban, pengakuan, dan dosa
yanng mana bentuk itu ada dalam upacara ritual. Kebudayaan yang
berfungsi menguhubungkan manusia dengan alam di sekitarnya, dan dengan
masyarakat di mana manusia menjadi warga. Kebudayaan adalah cara hidup
berkelompok, bukan perseorangan yaitu corak hidup yang di atur, ditetapkan dan
dusyahkan masyarakat (Glinka, 1984: 31). Karena dari gereja (tempat peribadatan
lain pula) juga sebagai kelompok masyarakat yang dianggap sebagai tanda penerus
karya keselamatan pada saat ini, dan tempat gereja itu berada, maka harus
mencerminkan aspirasi bangsa atau budaya masyarakat.
Konsep
Ritual
Ritual merupakan salah satu bentuk upacara
atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan
ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yanng luhur dalam arti
merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalam itu mencakup segala sesuatu yang
dibuat atau dipergunakan manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang
”tertinggi”, dan hubungan yanng bersifat umum tetapi sesuatu itu dapat bersifat
istimewa. Dalam ritual keagamaan yang dipandang dari bentuknya secara lahiriah
merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki
adalah ”pengungkapan iman”(Jacobs, 1987: 28). Oleh karena itu upacara atau
ritual agama yang diselenggarakan pada beberapa tempat dan waktu yanng khusus pada
perbuatan yang lauar biasa dan berbagai perlatan ritus lain yang bersifat
sakral. Ketika agama berbicara masalah unsur-unsur ritualnya, yang mana dalam
ritual agama tidaka dapat dielakkan lagi adanya camapuran seni yang menjadi
satu kesatuan yang akrab dalam jawa menyebutnya luluh, sebagaimana kegiatan itu pengalaman keimanan yang sekaligus
juga pengalaman estetis. Bentuk ritual yang merupakan transformasi simbolis
dari beberapa pangalaman kebutuhan primer manusia, maka suatau kegiatan
spontan, tanpa rancangan, dan kadang kalanya tidak disadari namun polanya benar
alamiah. Kegiatan semacam itu dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos
dengan jenis ritus magi yang didalamnya mengandung suatu kekuatan yang
menghubungkan kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyang.
Sehubungan dengan itu dalam realitas sosial yang ada, kehadiran atau kedudukan
suatu seni dalam agama katolik sebagai fungsi ritual yang tak ubahnya seperti
fungsi sosial.keterkaitan seni dan agama nampak begitu erat ketika berbicara
tentang ritual.
Religiusitas masyarakat terhadap malam tirakatan jum’at legi di Gua Bunda Maria
Keberagaman atau religiusitas adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Aktifitas beragama yang erat berkaitan dengan religiousitas, bukan hanya terjadi ketika melakukan ritual (ibadah) tetapi juga aktivitas lain yang didorong kekuatan batin (Ancok, 2001:76). Jadi sikap religiusitas merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Mengindarkan dari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah (Rahmat, 1996:133). Religiusitas dapat kita lihat dari aktivitas beragama dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara rutin dankonsisten. Salah satu hal yang sering diperbincangkan bersamaan dengan religiusitas adalah Kecerdasan Emosi. Kecerdasan emosi semula diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Universitas Harvard dan John Mayer dari Universitas New Hampshire. Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya monumentalnya Emotional Intellegence(JamaludinAhmad) Permasalahan yang berkembang saat ini adalah apakah agama atau keberagamaan akan mempengaruhi kecerdasan emosinya Berpegang pada pengertian religiusitas, kita dapat menganalisis kualitas keberagamaan bangsa kita. Sebagai Contoh, banyak orang kaya tetapi kikir dan tidak mau membantu meringankan penderitaan kaum fakir miskin.Ada orang-orang yang ibadatnya rajin, tetapi mencari "pesugihan" ke tempat-tempat keramat, minta pertolongan kepada jin, setan, tuyul dan lain-lain agar mereka menjadi orang kaya, hal tersebut menunjukkan kondisi religiusitas seseorang yang belum memiliki lima dimensi itu selengkapnya.
Sebagai yang telah diketahui tetapi di luar dugaan kita, dia berbuat yang melanggar norma agama. Maka kita harus ingat, bahwa tidak semua orang yang mengaku beragama telah memiliki dimensi religiusitas selengkapnya. Dalam suatu kesadaran spiritual, 212bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan dan perlindungan Tuhan. Oleh karena itu orang tersebut mudah tergoda oleh bujukan setan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Konsep relegiusitas
Dalam hal ini religiusitas dirumuskan dengan bahasa berbeda. Salah satunya memberikan pengertian bahwa Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Dalam pengertian lain dari religiusitas adalah intensitas keberagamaan, yang dalam hal ini pengertian yang penulis maksud bahwa intensitas adalah ukuran, tingkat (KBBI, 1996:383).
Menurut R. Stark dan C.Y. Glock dalam bukunya American Piety : The Nature of Religious Commitment ( 1968 ) religiusitas ( religiosity) meliputi lima dimensi :
Pertama: Dimensi Ritual, yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang
melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke
tempat ibadah, berdoa pribadi, puasa. Dimensi ritual ini merupakan peirlaku
keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual
merupakan sentimen secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan
pasti.
Dimensi Ideologis: yaitu yang mengukur tingkatan sejauh mana seseorang
menerima hal-hal yang bersifar dogmatis dalam agamanya. Misalnya; menerima keberadaan Tuhan, ,malaikat dan
setan, surga dan neraka, dan lain-lain. Keberagaman ditinjau dari segi ini
misalnya mendarma baktikan diri terhadap masyarakat yang menyampaikan amar
ma’ruf nahi mungkar dan amaliah lainnya dilakukan dengan ikhlas berdasarkan
keimanan yang tinggi.
Dimensi Intelektual; yaitu tentang seberapa jauh
seseorang mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh
mana seseorang itu mau melakukan aktivitas untuk semakin menambah pemahamannya
dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Misalnya; mengikuti seminar
keagamaan, membaca buku agama, dan lain-lain.
Secara lebih luas, dimensi
intelektual ini memiliki indicator sebagai berikut :
1. Dimensi intelektual ini
menunjukkan tingkat pemahaman seseorang terhadap doktrin-doktrin agama tentang
kedalaman ajaran agama yang dipeluknya.
2. Ilmu yang dimiliki seseorang akan menjadikannya lebih luas wawasan
berfikirnya sehingga perilaku keberagamaan akan lebih terarah.
3. Dia akan lebih memahami antara perintah dan larangan dan bukan sekedar
taklid buta.
4. Dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa menyingkap beta besar dan megah
ciptaan Tuhan
5. Melalui argumen yang kuat, seseorang memperoleh pengetahuan agama
terutama tentang wujud Tuhan,
Dimensi Pengalaman; berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah
mengalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhan-nya.
Misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan, dan lain-lain.
Dalam konteks berdoa, Sebagai makhluk manusia pun tidak lepas dari segala
bentuk permasalahan dan setiap permasalahan yang dihadapi oleh diri individu
yang satu dengan yang lain tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat keimanan
masing-masing.
PENGARUH HUBUNGAN TIMBAL BALIK DENGAN MASYARAKAT
Sebagai makhluk sosial manusia melakukan
komunikasi satu sama lainnya. Dalam kelompok sosial yang relegius, komunikasi
yang mendukung suatu hal tersebut adalah rasa tenggang rasa antara beragama
pada perspektif masyarakat merupakan kesadaran tiap individu guna terciptanya
keselarasan sosial. Dalam masyarakat disekitaran poh-sarang dalam menanggapi
adanya malam tirakan yang begitu ramai dilingkungan ataupun dengki dengan
adanya prosesei malam tirakatan jum’at legi di poh-sarang. Penduduk disana
menanamkan rasa solodaritas kebersamaan dan gotong-royong agar terciptanya
suatu keselarasan yang terjalin bersama dengan tidak menyinggung atau membuat
gaduh pada waktu pelaksanaan peribadatan. Dari apa yang telah didapat
dilapangan, maka kita dapat menelaah dan menarik suatu kesimpulan fakta
dilapangan, bahwa melalui agama maka suatu hal itu akan dapat berkomunikasi
dengan baik dan lancar dalam membangun kebersamaan guna memenuhi berbagai
kebutuhan ruhaniah sampai kebutuhan praktis harian yang disertai aspek relegius.
Dalam masyarakat yang berkembang, pesan keagamaan atau ajaran keagamaan
yang disampaikan dengan mengikutsertakan pendekatan rasional empirik. Integrasi
antara agama dan komponen budaya dalam masyarakat yang pada dasarnya berpegang
teguh pada nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan begitu pengaruh hubungan timbal
balik antar agama dan masyarakat adapat terjalin dengan baik.
PEMBERKATAN PATUNG BUNDA MARIA
Memberkati patung Maria
di Gua Lourdes Pub Sarang, yang baru dan cukup besar. Walaupun waktu itu
bangunan gua baru selesai kurang lebih 40'% namun telah diadakan pemberkatan
patung Maria sebab diharapkan dengan demikian gua yang cukup besar itu nanti
bisa selesai pada waktunya yaitu pada pesta Natal tahun 1999 yang akan
merupakan pembukaan Yubileum tahun 2000.
Patung Maria yang diberkati merupakan replika atau tiruan dari patung Maria
Lourdes, terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu
lebili tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter sebab patung Maria yang
sekarang ini tingginya 3,5 meter, kalau dihitung dari alas kakinya patung ini
tingginya dari bawahmenjadi4meter.
Patung ini dibuat lebih
besar dari contohnya sebab disesuaikan dengan besarnya gua yang tingginya
mencapai hampir 18 meter. Diperkirakan umat yang hadir pada waktu itu ada
kurang lebih 3000 orang. Pemberkatan sengaja diadakan pada awal bulan Mei
supaya selama bulan Mei, bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria,
umat katolik di Keuskupan Surabaya lebih giat melakukan devosi kepada Bunda
Maria.
Setelah homili Uskup
Surabaya disertai para Romo yang hadir waktu itu naik ke atas untuk memerciki
patung dengan air suci, kemudian disusul dengan penyalaan lilin oleh Dr. Agus
Harsono, Ketua Panitia Pembangunan Pub, Sarang, Ir. Harry Widyanto, Ir. A.S.
Rusli, Ir. Djoko dan Bp. Bernard, mereka inilah orang-orang yang terlibat dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan gua Maria di Puh Sarang.